Putra Tersayang di Ujung Pedang

Roy Enhaer

ISMAIL muda tumbuh menjadi anak penuh abdi sekaligus berbakti pada ayahandanya, yakni Nabi Ibrahim. Tak sekedar itu, totalitas dan kualitas imannya kepada Sang Maha Dalang, Allah SWT pun begitu dahsyat seperti ayahandanya.

Nabi Ibrahim amat sangat menyayangi Ismail, putranya. Sebaliknya, Ismail muda pun mencintai penuh bakti pada ayahandanya. Tapi, ketika gugusan cinta antara anak – bapak itu menggumpal, mengkristal, dan bersenyawa, kemudian Allah SWT memberikan ‘ujian’ dan ‘adu nyali’ yang teramat berat buat dua manusia mulia itu.

Yakni sebuah ujian yang mampu membetot  jantung dan mengiris hati manusia di kolong planet ini. Ujian yang paling mustahil untuk dilakoni oleh manusia siapa pun dan di mana pun. Ujian yang sanggup menjungkirbalikkan logika sehat, logika sosial serta ilmu logika yang sudah tak sanggup melogikakan peristiwa tersebut. 

'Ujian’ itu adalah perintah Allah SWT buat Nabi Ibrahim dan Ismail. Perintah agar seorang ayah untuk nugel gulu atau memenggal leher anak semata wayang yang dicintainya, yakni Ismail. Anak kinasih belahan jantungnya. Betapa pedih, perih dan tersayat hati Nabi Ibrahim. Dengan hati sedih bahwa perintah ‘eksekusi’ oleh Allah SWT itu ia sampaikan pada Ismail. Apa yang terjadi atas peristiwa haru biru antara anak dan bapak itu? Bukankah jika peristiwa itu terjadi di zaman milenial sekarang, pasti akan dituduh sebagai pembunuhan berencana, pasti akan dibentuk tim pencari fakta [ TPF ], pasti akan dilakukan rekonstruksi, pasti akan dilakukan uji forensik, serta pasti akan viral menjadi perdebatan kusir oleh para pakar di acara talk show televisi saban pagi, sore dan malam hari. 

Astaghfirullah! Justru Ismail mempersilakan dengan keikhlasan penuh agar eksekusi pemancungan atas dirinya itu disegerakan. Baginya, itu adalah semata-mata perintah - Nya. Perintah yang intinya agar memenggal leher Ismail hingga kepala terpisah dari tubuhnya.

Padahal, hingga di ujung usia senjanya, Nabi Ibrahim baru bisa mendapatkan keturunan, yaitu Ismail, anak lelaki semata wayang. Dan, Ibrahim adalah nabi. Ia tak pernah ragu dan gamang demi menjalankannya asal semua itu atas perintah Gusti Allah. Di sisi lain, Ismail muda itu pun begitu sabar dan ikhlas menerima perintah Allah SWT.

Penuh haru. Kedua lelaki anak dan bapak yang hebat dan penuh kesabaran itu bergegas mencari tempat yang tepat untuk melakukan penyembelihan. Tubuh Ismail dibaringkan di atas bebatuan yang rata dan halus. Wajah Ismail oleh Nabi Ibrahim ditutup sepotong kain agar tak terlihat langsung wajah anak semata wayangnya itu.

Tepat ketika tajamnya pedang hampir menyentuh leher anak kinasihnya, malaikat Jibril segera ‘membarter’ Nabi Ismail dengan seekor domba yang gemuk dan sehat. Akhirnya, tajamnya pedang Nabi Ibrahim pun beralih memenggal leher domba itu.

Peristiwa kemanusiaan yang sanggup meluluhtantakkan jantung dan ulu hati inilah awal dari perintah penyembelihan hewan kurban pada setiap Idul Adha. Kisah nyata yang sarat dengan kesabaran, kepasrahan total, ketakwaan, kekokohan, keteguhan iman dan keridaan dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika menjalankan perintah Allah SWT.

Akhirnya, sanggupkah ‘otak' dan 'hati’ para pejabat yang mengelola dan mewakili ratusan juta rakyat di negeri Pancasila ini mengambil keteladanan atas peristiwa yang diakoni dua nabiyullah itu. Juga sanggupkah kita mewarisi watak Ibrahim dan karakter Ismail?

Selamat ber - Idul Adha 1445 H

Roy Enhaer
Banyuwangi, 09 Dzulhijjah 1445 H, Minggu, 16 Juni 2024.

Related

Cover Story 56314220229889764

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item