Ketika Para Jawara Tiban 'Duel' di Desa Tamanagung : 'Mohon' Turun Hujan dengan Tetes Darah Tiban
http://www.diplomasinews.net/2023/10/ketika-para-jawara-tiban-duel-di-desa.html
TETES DARAH TIBAN : Ritiual budaya tiban digelar di Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur. [ image : roy ] |
DIPLOMASINEWS.NET - Tamanagung - Banyuwangi - Siang itu, tepat pukul 12.00 Wib, Kamis, 12 Oktober 2023, matahari bagai menggantung tegak lurus dan teriknya menyengat tepat di atas kepala. Udara kering dengan suhu tiga puluh derajat itu seperti mendidih, tanah retak berdebu karena air hujan tak pernah turun ke bumi. Tanda - tanda kemarau panjangkah?
Saat itu juga, di tanah oro - oro tepatnya di lapangan Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur tersebut telah digelar seni tradisi tiban. Tradisi kuno yang konon sebagai jawaban ketika bumi ini terlanda kemarau panjang.
Sekadar footnotes, catatan kaki bahwa tradisi seni tiban bentuk ritualitas rakyat ada dan mengada serta yang dilakukan secara turun -temurun melintasi generasi hingga kini. Bahkan 'diyakini' oleh masyarakat bahwa tiban ada dan diadakan sebagai upaya memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar hujan segera turun membasahi bumi karena kemarau panjang.
Salah satu tokoh masyarakat di Desa Tamanagung, Budiharjo. [ image : roy ] |
Sementara itu, tokoh masyarakat di desa itu, Budiharjo ketika dijumpai mengatakan bahwa budaya ritual tiban itu sudah menjadi kultur local wise, kearifan lokal dan biasanya dilakonkan setiap musim kemarau. Dan, ritual pecut - pecutan itu telah mengalir dan merambah dari generasi ke generasi.
"Konon, seni tiban itu diawali dari daerah Jawa Timur, utamanya di kabupaten Trenggalek, Blitar, Kediri dan Tulungagung," ucap Budiharjo.
Catatan media online di lokasi bahwa para peserta tiban satu lawan satu yang bertelanjang dada itu memasuki panggung arena seukuran 7 meter persegi itu siap bertarung dengan cara saling memecutkan cambuk ke tubuh lawannya hingga kulit terkelupas berdarah.
Kemudian para jawara yang berlaga di atas gelanggang itu menjadi bersemangat ketika ditingkah oleh tetabuhan tradisional seperti bonang, kempul, gong serta jedor yang ditabuh sepanjang pertandingan. Suara tetabuhan magis nungklik, nunggling, nungklik nunggling itu mendengung terus, membumbung hingga membelah langit dan mengiris - iris udara panas di lapangan Desa Tamanagung itu.
NGELURUG : Muhyidin, lelaki dari Lodaya, Blitar yang ikut berlaga tiban di Banyuwangi. [ image : roy ] |
Dan, dua jawara yang saling memecut hingga merobek punggung lawannya itu dibatasi tiga kali pecutan. Sedangkan petiban yang giliran dipecut wajib mengenakan helm sebagai safety atau pengaman wajah serta diawasi ketat oleh dua orang wasit.
Sementara itu, salah satu petiban dari Lodaya, Blitar, Muhyidin, 52 tahun ketika ditemui usai bertarung itu menuturkan bahwa pihaknya ngelurug hingga ke tanah Blambangan tersebut membawa sedikitnya 18 orang jawara.
Lanjutnya, sesungguhnya dirinya bertandang dan bertanding tiban hingga di Banyuwangi itu tidak saling memecuti tubuh - tubuh lawannya apalagi mencari musuh tetapi budaya tiban itu justru akan saling mengikat dan mempererat tali silaturahmi antar sesama. Membangun persaudaraan antar orang - orang Blitar dengan para sedulur di Banyuwangi.
Masih lanjutnya, biarkan para jawara tiban itu saling pecut-pecutan di atas gelanggang tetapi ketika sudah berada di bawah semua akan berubah menjadi teman.
Adakah modal kesaktian atau kekebalan tubuh ketika para jawara tiban berlaga di atas gelanggang itu? Lelaki asal Blitar itu dengan tegas menjawab tidak ada kebal - kebalan. Tidak ada sakti - saktian. Tetapi yang ada hanya sekedar hiburan kemudian berakhir menjadi paseduluran, persahabatan selamanya.
"Di atas gelanggang sebagai lawan. Di bawah gelanggang justru menjadi kawan," ucap lelaki asal Blitar itu.
Onliners : Roy/Jef
Editor : Roy Enhaer
Publisher : Oma Prilly