Ada 'Kuburan' di Kanjuruhan

Oma Prilly

Atas nama manusia dan kemanusiaan saya ikut prihatin sekaligus mengelus dada. Atas nama jiwa yang paling dalam saya ikut heningkan cipta kepada ratusan penikmat sepak bola yang meninggal dunia di stadion Kanjuruhan Malang ketika Arema FC versus Persebaya itu digelar tepat pada satu Oktober lalu.

Andai bal - balan itu tidak digelar pada malam hari. Andai yang berlaga bukan Arema FC lawan Persebaya yang sarat rivalitas. Andai tiket masuk yang dicetak tidak 'over capasity' alias berlebihan jumlah lembarnya. Andai 'polisi' dalam standar sekuritasnya saat menghalau chaos massa tersebut tidak dengan cara menyebarkan dan menyemburkan gas air mata, barangkali tragedi kelam bersepakbola di negeri ini tidak akan terjadi sepilu ini. 

Serta masih sangat banyak andai - andai lain yang belum saya andaikan di tulisan ini.

Betapapun tragedi kemanusian yang mengerikan dan menyesakkan dada sekaligus mengiris - iris hati di lapangan hijau itu kini sudah menjadi bubur. Betapapun, bubur tidak mungkin bisa dikembalikan lagi menjadi nasi.

Terlalu sulit saya bayangkan jika puluhan ribu penonton yang semburat demi menjauhi 'tembakan' gas air mata yang mengepul dan mengepung serta mengurung keselamatan mereka di dalam stadion. 

Dan, dengan kepanikan yang tinggi, puluhan ribu manusia itu berdesakan menuju pintu keluar demi saling menyelematkan diri mereka sendiri. Akibat langsungnya pasti korban berjatuhan dan terjerembab kemudian ternijak - injak yang lain serta berakhir meregang nyawa. 

Salah siapa dan siapa yang mesti paling bertanggung jawab atas ratusan nyawa manusia yang melayang di stadion Kanjuruhan, Malang itu? 

Jujur, tulisan saya ini tidak sedang memposisikan diri sebagai mencari - cari fakta siapa dan pihak mana yang layak disalahkan sekaligus mempertanggungjawabkannya atas tragedi 
meregang dan melayangnya nyawa ratusan manusia tak berdosa yang beranjak dari rumah mereka hanya kepingin menikmati lincahnya kaki - kaki menggoreng dan menggiring si kulit bundar di stadion Kanjuruhan. 

Tetapi tulisan saya ini sekadar nggumun terheran - heran bahwa laga sepak bola di negeri ini hingga 'menumbalkan' ratusan jiwa manusia penontonnya. 

Sekadar catatan bahwa tragedi yang menumbalkan ratusan nyawa di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Indonesia itu lebih mengerikan dalam konteks jumlah korban yang tewas jika diperbandingkan dengan tragedi serupa di stadion Heysel di Brussels, Belgia itu yang hanya menewaskan 35 orang saja. Masih hebat di negeri kita kan? 

Pye kabare? Apa kabar PSSI jika pada satu Oktober malam di stadion Kanjuruhan, Malang itu telah berubah menjadi 'kuburan' atas ratusan manusia menghembuskan nafas terakhir mereka karena kekurangan oksigen serta dikepung oleh kepulan asap putih gas air mata itu? 

Tahukah bahwa mereka sejak dari rumah kepingin menikmati si kulit bundar yang digoreng dan digiring oleh para pesepakbola di lapangan hijau antara laga 'derby' Arema FC versus Persebaya? 

Siapakah yang dengan ksatria berani acungkan tangan tinggi - tinggi mengakui dengan sportif dan jujur bahwa tontonan rakyat sepak bola yang seharusnya sebagai media hiburan tetapi berubah manjadi 'kuburan' massal di Kanjuruhan?

Adakah yang berani 'undur diri' karena secara moral telah gagal mengelola persepakbolaan di negeri ini? 

Oma Prilly
Selasa, 04 Oktober 2022.

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item