Biarpun 'Kucing' Menggonggong, Kafilah Tetap Berlalu
Oma Prilly |
Masih ingatkah ketika beberapa waktu silam telah terucap sepenggal ucapan yang diucapkan oleh seorang pejabat kemudian menjadi beribu - ribu ucap kemudian viral dan terkenal di seluruh negeri yakni tentang 'gonggongan anjing' itu?
Andai sepenggal kalimat 'gonggongan' itu keluar dari mulut saya, pasti tidak segaduh, sebombastis dan pasti gaung dan imbasnya tidak seviral jika 'sesuatu' itu diujarkan oleh salah seorang tokoh penting di negeri ini.
Meski sekarang saya berteriak lantang hingga urat leher ini putus dan lidah menjulur pun pasti tidak pernah berdampak sosial apa pun. Bukankah ujaran itu akan berdampak plus atau minus di ruang publik tergantung siapa dan 'menjadi' apa sesungguhnya yang berujar itu. Bukankah hal itu tergantung dari apa dan siapanya dulu?
Dan, jika boleh saya ilustrasikan bahwa segala sesuatu itu harus ada satuan ukurannya. Jika minyak goreng disebut liter, untuk panjang atau pendek tentu ditanya berapa meter, jika bicara suhu pasti derajat, kalau tali itu seutas, wajah itu seraut, dan jika ikhwal itu menyangkut kalimat biasanya disebut sepatah.
Jika menyangkut hewan tentu yang mengeong pasti kucing, 'wedus' pasti mengembik, singa mengaum, ayam jago berkokok, kerbau melenguh, kuda meringkik, dan yang 'satu' ini pasti menggonggong.
Pertanyaannya, kenapa wong gegara sepatah kalimat yang kontennya ada 'gonggongan' nya saja kemudian berujung menjadi 'kemriyek' dan menciptakan kegaduhan nasional utamanya di jejaring media sosial?
Celakanya, jutaan mulut di negeri ini saling bertabrakan ucapan yang disuarakan. Di seberang jalan sana mencibir kelompok lain di seberang jalan yang di sini. Saling mencaci, hujat sembari menuding jidat, aksi saling perundungan. Di sebelah kanan berteriak dan menyerang agar segera 'dilengserkan', dan di sebelah kiri bertahan agar tetap duduk di kursi.
Pertanyaan yang lain, sesungguhnya dari pihak manakah yang tidak 'mudeng' atau paham ketika patahan kalimat 'menggonggong' itu terlontar di ruang publik?
Mungkinkah kiasan atau ucapan perumpamaan 'gonggongan' itu disalahtafsiri oleh yang 'mendengar' dengan sangat tekstual ataukah 'yang berucap' itu tidak lebih dulu ditakar dosisnya agar tidak 'over dosis'?
Bisa jadi agar dimaklumi, contohnya saya bahwa setiap menjumpai kalimat atau statmen apa pun selalu saya telan mentah - mentah tanpa digodog lebih dulu kemudian dikunyah. Akhirnya, ketika makanan itu sampai di pencernakan pasti membuat banyak pihak akan 'mules' lambungnya.
Tetapi, suhu kegaduhan akibat imbas dari 'jenggongan' itu hari - hari ini terlihat sudah mulai landai dan menurun temperaturnya. Para 'khafilah' pun sudah mulai berlalu.
Ya sudah kalau begitu. Akhirnya dengan rasa jengah saya tuliskan sepatah 'kalimat mutiara' sekenanya : Biar pun 'Kucing' Menggonggong, Kafilah Tetap Berlalu.
Oma Prilly
Rabu, 23 Maret 2022.