Beda Tipis, Antara ‘Bank Plecit’ dan ‘Jurnalis’
Roy Enhaer |
Titel atau judul tulisan di atas adalah semacam kegelisahan realistik, natural, apa adanya, dan tanpa rekayasa sedikit pun atas diriku yang ujug - ujug menjadi jurnalis.
Menurut ‘kacamata kuda’ yang kupakai, jika menyebut secara personal bahwa seorang jurnalis itu contohnya seperti Najwa Shihab, Dahlan Iskan, Karni Ilyas, Aiman Witjaksono, dan masih tak terbilang yang baik dan hebat lainnya.
Dan, mereka yang baik dan hebat itu memang faktanya benar - benar bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan sekaligus secara moral atas kejurnalistikan mereka selama ini.
Tapi, ketika pertanggungjawaban tersebut diuji kelayakan dan keprofesionalitasannya kemudian dibebankan ke atas pundakku, secara ilmiah dan apalagi dari sisi moral, pasti ditertawakan oleh orang yang jarang tertawa bahkan ngisin - isini alias memalukan di depan orang - orang yang selama ini tidak pernah malu.
Adalah sebuah true story atau kisah nyata yang benar - benar teralami dengan mata kepala, jiwa raga, dan lahir batin saya sendiri ketika duduk di teras sebuah instansi pemerintah sebelum akhirnya masuk pintu utamanya.
Kisah nyatanya bahwa ketika itu seorang ibu setengah baya yang tengah duduk di sebelah menanyaiku dengan kalimat tanya : sampeyan apa sedang kerja di bank plecit?
Jangkrik! Pertanyaan tujuh kata yang terlontar dari lambe wanita setengah baya tersebut benar - benar bak halilintar yang menyambar ubun - ubun dan telah menghentikan detak jantung juga aliran darah nadiku meski kemudian perlahan tumbuh kesadaranku yang benar - benar sadar.
Sekadar catatan bahwa idiom bank plecit itu adalah semacam Koperasi Simpan Pinjam ( KSP ) yang praktiknya meminjami modal tunai kepada para nasabahnya dengan aturan tertentu di internalnya.
Kenapa dipredikati dengan bank plecit? Konon, ketika pihak koperasi tersebut telah merealisasikan dana tunai kepada para nasabahnya, maka para ‘tukang tagih’ nya hampir saban hari mendatangi rumah para peminjam atau nasabah itu dengan cara door to door atau dari pintu ke pintu.
Dan, idiom bank plecit tersebut begitu melekat kepada para juru tagihnya itu. Jelasnya, kata plecit itu makna bebasnya adalah memburu atau mengejar keberadaan obyek di mana pun dan kapan pun. Obyek buruannya tentu para nasabah yang berpiutang di koperasi tersebut.
Pertanyaan besarnya, kenapa ketika itu aku yang sedang duduk di teras sebuah instansi tersebut tetiba ‘dituduh’ sebagai pelaku bank plecit oleh ibu setengah baya itu?
Adakah kemiripan antara aku dengan bank plecit? Ataukah model dandanan dan performaku sama dan sebangun dengan hal itu?
Atau apakah selama ini modus operandiku dalam melakoni profesi jurnalistik itu ‘beda tipis’ dengan bank plecit yang saban hari mleciti alias hanya memburu ‘setoran’ finansial dari narasumber ketika kreditnya macet?
Maafkan aku bank plecit jika ketika itu aku pernah disinyalir dan diduga kuat bukan sebagai seorang jurnalis meski sejatinya memang ‘iya’ adanya.
Betapa pun aku tetap apresiatif terhadap keberadaan bank plecit yang faktanya telah menggulirkan dana instant atas kesumpekan ekonomi masyarakat yang semakin termarginalkan itu.
Jangan lupa, apresiasi yang lain adakah bahwa aku juga bagian tak terpisahkan atas hai itu. Pasalnya, aku telah tercatat di buku tagihan sebagai nasabah tetapi tak pernah sekali pun macet setorannya.
Beda tipiskah?
Roy Enhaer
Kamis, 04 Nopember 2021