‘Soempah Pemoeda’ antara Dulu dan Kini
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Delapan puluh delapan tahun lalu, tiga pemuda bernama, Mohammad Yamin, Soegondo, dan Mr. Soenaryo bercita_cita dengan gagasan besar untuk mewujudkan 'adanya' Indonesia. Tiga bocah muda usia itu pada 28 Oktober 1928 menyelenggarakan konggres di Batavia. Hasilnya, cita_cita itu dengan tegas diputuskan yang populer disebut : Soempah Pemoeda.
Soempah Pemoeda itu adalah azas atas cita_cita besar bahwa 'akan ada' tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Ketika itu, 'tiga sumpah' itu agar dipublikasikan di sejumlah media dan dibacakan di depan rapat_rapat perkumpulan pemuda.
Apa kabar, para pemuda kini? Apa saja yang sudah engkau sumpahkan pada negara? Sudahkah pengakuanmu atas tumpah darah satu, tanah Indonesia? Berbangsa satu, bangsa Indonesia? Berbahasa satu, bahasa Indonesia?
Maafkan aku, Ibu Pertiwi! Tanah tumpah darahku itu, kini telah ‘kugadaikan' pada ‘rentenir' bangsa lain. Keutuhan bangsaku yang satu itu kini telah ‘tercabik -cabik' dan saling melotot satu sama lain dengan mata merah. Bahasa yang sesungguhnya harus kujunjung itu ternyata kehilangan kemurniannya dan aku lebih suka bertutur dengan bahasa asing. Maafkan aku, Ibu Pertiwi!
Dirgahayu, Soempah Pemoeda!
@roy_enhaer
Banyuwangi, Jumat, 28 Oktober, 2016
( Tulisan ini pernah di - publish di berbagai media pada 2016, lalu )