Gending, Gendang, dan ‘Gendeng’
KETIKA istri sejatiku kubohongi setiap hari, pasti aku kehilangan kesejatian cinta itu. Ketika ‘kekasih gelap’ ku kukhianati cinta birahinya, pasti aku telah merusak nafsu asmara itu.
Ketika aku tengah menabuh gendang mengiringi uyon-uyon gending tanpa mendengar bunyi gong, bonang, gender, dan saron, aku telah merusak keutuhan harmonisasinya.
Pun, jika aku sebagai pemimpin rakyat tanpa mau mendengar suara hati rakyat, kegelisahan, dan kesumpekan ekonomi yang hari-hari ini semakin menjepit hidup rakyat, pasti aku pemimpin yang tak paham akan gending-gending rakyat.
Tukang gendang adalah dirijen atas selaras atau tidaknya irama itu didengar telinga dan dirasakan hati.
Ibarat tukang gendang, pemimpin sangat dilarang seenaknya ngeplak gendang dalam memimpin simponi kepemimpinan. Ia harus paham irama hati rakyat. Gending-gending yang berbunyi di kedalaman hati rakyat.
Hanya pemimpin yang ‘gendeng' saja yang tak peka mendengar irama hidup atas jutaan rakyatnya. Pemimpin jangan hanya mendengarkan irama nafsu dirinya sendiri.
Pemimpin yang hanya pandai ‘nggedabrus’ mencari popularitas dan pencitraan atas dirinya sendiri. Pemimpin yang hanya bisa mendengar gending-gending ‘keserakahan’ atas dirinya sendiri.
Hanya pemimpin ‘gendeng’ yang kupingnya ‘budeg’ dan hatinya tuli saja yang tak pernah peka mendengar irama hati rakyat yang dirakyatinya.
Budeg dan gendengkah aku? Bagaimana denganmu?
@roy enhaer
Banyuwangi, Friday, October 6, 2017
( Tulisan ini pernah di - publish di berbagai media cetak pada 4 tahun lalu )