‘Sak Umbruk’
©roy enhaer
Idiom sak umbruk
jika dimaknai bebas menunjukkan sesuatu yang melimpah ruah hingga sulit
terbilang dan rumit dikalkulasi jumlahnya.
Dan,
‘sesuatu’ yang sak umbruk itu adalah cara saya menggambarkan
betapa teramat banyaknya manusia – manusia yang berprofesi sebagai ‘wartawan’ di
sekitar kampung saya.
Jujur,
di antara ke – sak umbruk – an profesi tersebut, saya pun include menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Terselip di tengah pusaran itu dan lebur membaur di dalamnya.
Karena
jumlahnya kemriyek atau berlimpah, akhirnya
profesi tersebut tumbuh bak jamur di musim hujan, bagai kumbang di musim
kembang, seperti uget – uget di dalam comberan, layaknya lalat
merubungi onggokan sampah di selokan, dan persis burung - burung nazar yang datang berebut bangkai
binatang. Bukankah semakin melimpahnya profesi tersebut justru semakin positif kontrol
sosialnya dan ujungnya tidak bisa memberi peluang sejengkal pun para pemangku
jabatan di negeri ini untuk neko – neko menyimpangkan, beraksi korup dan
culas soal dana rakyat?
Tetapi
yang saya sangat ‘nggumuni’ atau terheran – heran adalah betapa hari – hari ini
profesi tersebut benar – benar over capacity, over production dan
bahkan over load alias kelebihan penumpang.
Tapi
jangan keburu ngamuk dulu. Pasalnya,
saya tidak sedang ‘melarang’ siapa pun untuk menjadi apa pun. Dan, saya juga
tidak sedang menidakbolehkan siapa pun untuk menjadi ‘wartawan’ sebagai profesi.
Bukankah itu sebuah pilihan personal dan hak kedaulatan masing – masing?
Dan,
tulisan ini sesungguhnya semacam kaca
benggala untuk ‘menelanjangi’ diri
sendiri dalam konteks profesi saya sebagai wartawan dalam tanda kutip.
Jelasnya, senyampang pada suatu waktu nanti saya akan ditelanjangi oleh pihak
lain.
Betapa
tidak, selama saya berpuluh – puluh Ramadan menjadi ‘wartawan’, rasanya sekadar
‘grudak – gruduk’ saja tanpa melakukan apa yang semestinya wartawan lakukan.
Dari hari ke hari ‘isone’ hanya berkutat sebagai wartawan CNN [ Cuma Nanya –
Nanya ] saja, dan sekadar ‘muntaber’ alias muncul tanpa memuat berita. Bahkan
hanya berbekal data – data dari nara sumber yang belum akurat, saya berani
melakukan ‘sisik melik’ yang ujung – ujungnya ‘dibarter’ lewat ‘transaksional’.
Sekali
lagi, saya tidak sedang men – satiris
dan men – sarkasme siapa pun atau
pihak mana pun, tapi lebih memperjelas diri soal ‘bisa tidaknya’ atas profesi kewartawanan
yang selama ini saya lakoni.
Jujur,
‘rai’ ini juga saya mempertanyakan. Apakah saya telah dan sanggup menghasilkaryakan
produk jurnalistik? Sejauh mana konsekuensi idealitas dan moralitas saya yang
disebut – sebut telah sangat lama di – branding
sebagai ‘wartawan’, itu?
Cepat
atau lambat jika suatu waktu sampeyan
mempertanyakan bahwa apakah saya juga bagian dari irisan yang sak umbruk,
itu? Jika kefaktaannya memang benar – benar fakta adanya, lalu sampeyan mau apa?
Sak umbruk, dengkulmu, itu.
©roy
enhaer
Jember,
Ramadan, Minggu, 09 Mei 2021