Menikmati ‘Nikmatnya’ Nikmat di Puncak Kenikmatan
http://www.diplomasinews.net/2020/09/menikmati-nikmatnya-nikmat-di-puncak.html
Roy Enhaer
|
Coblosan bupati di
Banyuwangi tinggal menunggu beberapa jengkal bulan lagi. Tepatnya, jika memang
tidak ada jadual mundur pasti akan
digelar pada sembilan Desember dua ribu dua puluh, nanti.
Meski
belum mendapatkan nomor urut punggung dari pihak pemborong pilkada, tapi
secara de facto sudah sangat cetha dan jelas bahwa para petarung yang akan ‘gelut’ di atas ring pilkada nanti
hanya dua pasang calon saja. Yakni, sosok perempuan yang tak lain istri dari
bupati Banyuwangi yang hampir incumbent. Dan, ‘penantang’ nya adalah juga orang dekat
sendiri, yaitu wakil bupatinya.
Alhamdulillah, saya
bersyukur hingga detik ini belum mengidap penyakit pikun. Gendang telinga saya masih cukup sensitive jika mendengar frekuensi suara gremang – gremeng dan
bisik – bisik tetangga di jalanan tentang pilkada yang akan digelar awal
Desember di Banyuwangi, nanti.
Dan,
salah satu contoh suara yang terdengar di jalanan adalah, lha iya, lha wong sudah dua kali rezim kok ya masih saja nyurung - nyurung ‘anunya’ untuk berlaga di atas ring politik demi
meraup seonggok kursi panas dan selembar red carpet di pendapa. Kemudian, suara yang lain juga terdengar bahwa wong sudah dua kali sebagai nomor dua kok ya masih saja kepingin menjadi nomor satu. Itulah dinamisme dan romantisme perebutan power di jagat politik. Siapa pun manusianya, secara
konstitusional berhak untuk memilih dan dipilih. Dan, bahkan bisa saja terjadi untuk tidak ada yang memilih sama sekali.
Pertanyaannya,
jika disimulasikan model kuliner, disebut apakah jika perut kita sudah kenyang
menikmati sega pecel dua piring tetapi esok pagi masih saja imbuh sepiring lagi sega rawon? Itulah nikmatnya jika nafsu
makan kita sedang berada di titik puncak kenikmatannya.
Lalu,
sanggupkah para penikmat nafsu itu jika sudah lungguh di singgasana atau singgasini
nanti bersedia mengelola nafsu itu tidak hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri tetapi dirubah nafsu positif untuk jutaan rakyat yang dengan
ikhlas telah mencoblos di TPS kemudian mengantarkannya menjadi orang penting di kabupaten, ini?
Sanggupkah
para pemburu nafsu itu merubah nafsu makan menjadi nafsu kerakyatan yang
totalitasnya bisa dibuktinyatakan ketika sudah merengkuh dan menggendong
jabatan nanti?
Sanggupkan
para penafsu makan itu untuk menahan lapar barang sejenak sebelum jutaan
rakyat di kabupaten ini terisi perutnya karena menunggu antre sembako plus lauk sepotong tempe dan sayur manisah di pendapa desa mereka?
Dan,
sebelum jutaan rakyat itu kenyang perutnya, sanggupkah para pengabdi nafsu itu menunggu njanggruk duduk di
samping rakyat yang tengah menikmati sega pecel hingga selesai kemudian gelegeken?
Ataukah
para maniak nafsu itu lebih memilih pilihan hidup mereka dengan jargon,
menikmati ‘nikmatnya’ nikmat di puncak kenikmatan?
©roy
enhaer
Banyuwangi,
Minggu, 13 September 2020.