Jer ‘Bupati’ Mowo Arto
http://www.diplomasinews.net/2020/09/jer-bupati-mowo-yotro.html
Roy Enhaer |
Hingga
detik ini, kandidat pilkada
Banyuwangi masih muncul dua pasang bakal calon [ balon ] yang dielus – elus dan digadang – gadang oleh partai dan pasukan bonek mereka masing – masing untuk maju
berlaga pada coblosan nanti. Dan,
juga sudah mendapat rekomendasi dari ‘juragan’ partai politik mereka di atas
sana.
Pada
jelang pilkada Banyuwangi, ini,
lubang hidung saya juga mengendus aroma konspiratif, manipulatif, agitatif, kolutif, dan lalu lintas dana pelicin atau uang sogokan, hingga ruwetnya intrik – intrik yang telah lazim dilakoni oleh para
politikus bahkan menjadi ‘rumus’ pada setiap helatan pesta demokrasi pada level
apa pun dan di mana pun. Bahkan aroma ‘transaksional rekomendasi’ pun juga
sudah merebak dan tercium di ruang publik.
Bukankah
kita semua telah merasakan bahwa system demokrasi di negeri ini secara de facto
telah berkiblat ke arah ‘demokrasi transaksional’. Demokrasi ‘prabayar’. Atau demokrasi
NPWP, nomer piro dan wani piro?
Logika
ndeso saya mengatakan bahwa siapa pun
yang akan berlaga di ring pilkada Banyuwangi nanti, jika hanya ‘bondo suwal’,
hanya ‘bondo abab’ dan ‘cangkem’ saja, agar lebih indah untuk mengurungkan
birahi politiknya dan mundur alon – alon dari helatan pilkada yang digelar
pada 9 Desember 2020, nanti. Dan, senyampang belum menjadi pecundang.
Bukankah
kini di negeri demokrasi ini meski sulit dibuktikan secara material tetapi faktanya
telah berlangsung demokrasi ‘transaksional’ yang dipertontonkan dengan
telanjang setelanjang telanjangnya?
Tapi
semua itu menjadi wajar – wajar saja jika kita mengacu pada unen – unen atau ujaran budaya wong
Jowo. Yakni, Jer Basuki Mowo Beyo.
Yang makna harfiahnya bahwa untuk menggapai kesuksesan selalu membutuhkan biaya
atau pengorbanan. Baik material maupun imaterial. There is no free
lunch, tak ada makan siang yang
gratis.
Dan,
jika saya plesetkan, akhirnya ungkapan Jawa, Jer Basuki Mowo Beyo,
tersebut bisa ‘berubah’ menjadi Jer ‘Bupati’
Mowo Arto. Artinya, untuk meraih kedudukan kursi dan menapaki karpet
merah di pendopo kabupaten, seorang bupati mesti berbekal ‘yotro’ atau financial
yang tidak sedikit.
Betapa
tidak, untuk sebuah rekom dari partai
politik pengusung saja seorang bakal calon bupati mesti bertransaksional,
kabarnya, bernominal milyaran rupiah. Dan, sebuah kursi partai pun ada nilai
jual rupiahnya.
Jelasnya,
seorang calon bupati jika hanya mengandalkan popularitas, cerdas, jujur tegak lurus dan merakyat
saja tidak cukup jika tidak berkantong tebal dan memiliki link, koneksi dan jaringan sistemik di lingkaran pusat – pusat policy dari para eksekutor politik di
atas sana.
Akhirnya,
dan faktanya bahwa tidak pernah ada makan siang yang gratis. Yang ada hanya dan
hanya Jer ‘Bupati’ Mowo Arto,
saja.
©roy
enhaer
Banyuwangi,
Jumat, 04 September 2020.