Demokrasi ‘Permaisuri’


Roy Enhaer
Hari ‘pertarungan’ calon pemimpin selevel bupati di kabupaten ‘antah berantah’ itu tinggal menghitung bulan saja. Mereka sudah saling mengintai siapa mengintip siapa. Sudah saling meneropong siapa mengendarai gerobak berumbul – umbul apa atau gerbong berbendera apa. 

Seperti lazimnya ketika di negeri ini jelang punya ‘gawe politik’ kemudian siapa saja yang nafsu politik dan libido kekuasaan mereka untuk mresiden, nggubernur, malikota, mbupati, nyaleg, hingga tingkat paling ndeso, yakni milkades atau pemilihan kepala desa, bisa ditebak, pasti suhu udara di langit dan tensi tubuh para balon itu semakin hari semakin memanas.

Dan, temperature pra - pesta demokrasi yang sudah memanas itu bisa semakin mendidih jika para ‘makelar’ politik oportunistik yang berkeliaran tersebut kemudian ikut ‘menyiram’ berliter – liter pertamax di atas gelanggang laga pilkada.

Bukankah para ‘makelar’ politik itu berpikirnya tidak penting siapa pemenang dan siapa yang akhirnya sebagai pecundang? Tetapi mereka hanya sangat berharap berliter – liter dan bergalongalon pertamax tersebut bisa ditenggak sebanyak – banyaknya ketika pesta demokrasi itu usai.

Dan, hari – hari ini sejumlah bakal calon pilkada telah memajang gambar wajah mereka di baliho dan menancapkannya di pertelon, di perempatan, dan di setiap tikungan tajam di sepanjang pinggir jalan dengan harapan agar disimpatiki para calon pencoblos ketika pada hari – H nanti.

Dalam konteks pesta demokrasi di negeri ini, siapa pun yang tercatat sebagai manusia Indonesia, diperbolehkan untuk dipilih dan memilih. Bahkan siapa pun yang memiliki hak pilih tetapi ketika ada peristiwa pemilihan tidak ikut memilih, itu pun ‘dibolehkan’ undang – undang.

Alam demokrasi di negeri ini benar – benar sangat demokratis, fleksibel, luwes, gandhes, penuh kesepakatan dan sarat dengan kegotongroyongan sebagai kekayaan budaya dan ciri khas bangsa ini.

Sebagai contoh ketika beberapa tahun lalu pada pilkades. Ketika seorang kandidat lelaki di desa tersebut hingga deadline, batas akhir tidak mendapati ‘lawan’ politiknya, akhirnya ia ‘menggandeng’ istrinya untuk dijadikan satu - satunya rival yang pantas pada demokrasi level desa tersebut.

Secara regulasi memang hal itu tidak ‘melanggar’ rambu – rambu apa pun, tetapi secara edukasi demokrasi dan nilai – nilai atau ‘ruh’ yang terkandung di dalamnya terasa tidak nyaman jika dirasakan oleh perasaan.

Semoga tidak berlebihan jika demokrasi model seperti itu akan dicatat dalam sejarah sebagai the democratic of dynasty atau ‘demokrasi dinasti’.

Dan, semoga pada pilkades tahun – tahun nanti akan muncul ‘new normal’ atau tatanan fenomena baru bahwa ketika sang ‘kepala desa’ itu secara undang – undang sudah ‘tidak diizinkan’ untuk meng – kandidat lagi, tetapi kemudian justru malah sang istri ‘disurung – surung’ agar maju berlaga di gelanggang pesta demokrasi dan dengan targeting memenanginya.

Sekali lagi, semoga demokrasi model seperti itu yang benerbener terjadi di negeri ‘antah berantah’ tersebut akan ditoreh dengan tinta emas di atas lempengan platinum oleh sejarah sebagai the democratic of empress atau ‘demokrasi permaisuri’.

©roy enhaer
Banyuwangi, Selasa, 30 Juni 2020. 

Related

Cover Story 5408646551855619756

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item