Demokrasi ‘Permaisuri’
http://www.diplomasinews.net/2020/06/demokrasi-permaisuri_8.html
Roy Enhaer |
Hari
‘pertarungan’ calon pemimpin selevel bupati di kabupaten ‘antah berantah’ itu
tinggal menghitung bulan saja. Mereka sudah saling mengintai siapa mengintip
siapa. Sudah saling meneropong siapa mengendarai gerobak berumbul – umbul apa
atau gerbong berbendera apa.
Seperti
lazimnya ketika di negeri ini jelang punya ‘gawe politik’ kemudian siapa saja yang nafsu politik dan libido kekuasaan mereka untuk mresiden, nggubernur, malikota, mbupati, nyaleg, hingga tingkat paling ndeso, yakni milkades atau pemilihan kepala desa, bisa ditebak, pasti suhu udara
di langit dan tensi tubuh para balon itu
semakin hari semakin memanas.
Dan,
temperature pra - pesta demokrasi
yang sudah memanas itu bisa semakin mendidih jika para ‘makelar’ politik
oportunistik yang berkeliaran tersebut kemudian ikut ‘menyiram’ berliter –
liter pertamax di atas gelanggang
laga pilkada.
Bukankah
para ‘makelar’ politik itu berpikirnya tidak penting siapa pemenang dan siapa
yang akhirnya sebagai pecundang? Tetapi mereka hanya sangat berharap berliter –
liter dan bergalon – galon pertamax tersebut bisa ditenggak
sebanyak – banyaknya ketika pesta demokrasi itu usai.
Dan,
hari – hari ini sejumlah bakal calon pilkada
telah memajang gambar wajah mereka di baliho dan menancapkannya di pertelon, di perempatan, dan di setiap
tikungan tajam di sepanjang pinggir jalan dengan harapan agar disimpatiki para
calon pencoblos ketika pada hari – H nanti.
Dalam
konteks pesta demokrasi di negeri ini, siapa pun yang tercatat sebagai manusia
Indonesia, diperbolehkan untuk dipilih dan memilih. Bahkan siapa pun yang
memiliki hak pilih tetapi ketika ada peristiwa pemilihan tidak ikut memilih,
itu pun ‘dibolehkan’ undang – undang.
Alam
demokrasi di negeri ini benar – benar sangat demokratis, fleksibel, luwes, gandhes, penuh kesepakatan dan sarat
dengan kegotongroyongan sebagai kekayaan budaya dan ciri khas bangsa ini.
Sebagai
contoh ketika beberapa tahun lalu pada pilkades.
Ketika seorang kandidat lelaki di desa tersebut hingga deadline, batas akhir tidak mendapati ‘lawan’ politiknya, akhirnya
ia ‘menggandeng’ istrinya untuk dijadikan satu - satunya rival yang pantas pada demokrasi level desa tersebut.
Secara
regulasi memang hal itu tidak ‘melanggar’ rambu – rambu apa pun, tetapi secara
edukasi demokrasi dan nilai – nilai atau ‘ruh’ yang terkandung di dalamnya
terasa tidak nyaman jika dirasakan oleh perasaan.
Semoga
tidak berlebihan jika demokrasi model seperti itu akan dicatat dalam sejarah
sebagai the democratic of dynasty atau ‘demokrasi dinasti’.
Dan,
semoga pada pilkades tahun – tahun
nanti akan muncul ‘new normal’ atau tatanan fenomena baru bahwa ketika sang ‘kepala
desa’ itu secara undang – undang sudah ‘tidak diizinkan’ untuk meng – kandidat
lagi, tetapi kemudian justru malah sang istri ‘disurung – surung’ agar maju
berlaga di gelanggang pesta demokrasi dan dengan targeting memenanginya.
Sekali
lagi, semoga demokrasi model seperti itu yang bener – bener terjadi di
negeri ‘antah berantah’ tersebut akan ditoreh dengan tinta emas di atas
lempengan platinum oleh sejarah
sebagai the democratic of empress atau ‘demokrasi permaisuri’.
©roy
enhaer
Banyuwangi,
Selasa, 30 Juni 2020.