Pantaskah Aku Ber – Idul Fitri?
http://www.diplomasinews.net/2020/05/pantaskah-aku-ber-idul-fitri.html
Roy Enhaer
|
Ketika
sejumlah rangkaian ibadah pada Ramadan yang kulakoni itu jika kemudian kuilustrasikan dan
kuanalogikan sebagai ‘ujian nasional’ sekolah, seperti puasa, misalnya, ternyata
secara kualitatif tak berefek positif sama sekali atau jelasnya tidak bisa
disebut telah lulus ujian. Padahal puasa yang kuawali dari dentang lonceng imsyak hingga ditabuhnya bedhug magrib itu benar – benar ‘kujapani’
dan kujalani dengan nawaitu se – nawaitu – nawaitu – nya. Juga komplit syarat – rukunnya.
Atau
jangan – jangan ibadah puasa kemarin atau puasa tahun – tahun lalu yang telah kurewangi menahan perut lapar dan kerongkongan
haus itu hanya sekadar seremonialitas belaka. Atau sesungguhnya puasaku itu
sebatas hanya merasa tidak nyaman saja kepada tetangga kanan – kiri, dan bukan
puasa yang benar – benar demi pencapaian pada kualitasnya.
Dan,
jika paparan soal ibadah puasaku di atas itu sulit dan rumit untuk dipahami, maka
akan kujelaskan dengan sejelas – jelasnya di bawah ini.
Intinya,
ibadah puasa yang kujalani selama sebulan penuh itu ketika sudah tuntas dan
diakhiri dengan ber – Idul Fitri, ternyata belum mampu move on atau berhijrah dari
wilayah kotor menuju kepada zona yang putih - bersih. Lebih jelasnya lagi, meski
puasa telah usai tetapi omonganku masih saja suka ngerasani atau menggunjing orang lain.
Kemudian,
dampak kepedulianku kepada sesama pun masih belum bertambah kualitasnya. Dan, andai
aku di suatu waktu dan di sebuah tempat terlihat peduli, itu karena ada maksud –
maksud tertentu, yaitu pasti sedang mendesain dan membangun image atau pencitraan belaka demi banyak
hal dan kepentingan pribadi atau kelompok yang sepaham denganku ke depannya.
Jika
aku seorang pengusaha, pasti aku akan berkolaborasi dengan berguru kepada penguasa
untuk merancang kepedulian kepada sesama itu ‘pantasnya’ seperti apa.
Dan,
jika aku seorang pejabat yang diamanati rakyat, cara atau model kepedulian
kepada rakyat yang kurakyati dan kukuasai itu seolah – olah barang – barang atau
benda yang kusantunkan mereka benar – benar keluar dari kantong dan dompetku
sendiri.
Padahal
apa pun bentuk benda yang kuberikan kepada rakyat itu sesungguhnya milik rakyat
itu sendiri. Karena caraku menyantunkan kepada mereka dibuat secara seremonial,
pasti rakyat terlena kemudian mengira bahwa semua itu adalah milikku sendiri. Intinya,
sesuatu yang kusantunkan itu hanya ‘mbulet’ atau berputar – putar saja. Yaitu,
dari rakyat, kukelola sedemikan rupa kemudian kusalurkan kembali kepada pemilik
aslinya, yakni rakyat.
Akhirnya
aku mesti matur nuwun kepada pandemic Corona.
Pasalnya, virus tersebut telah ‘melarang’ ku
menggelar
open house jika tak ingin jutaan rakyat yang kurakyati itu ‘digigit’
virus yang mematikan itu. Artinya, bahwa peristiwa imagisasi, 'pencitraan' yang terdesain sebelumnya itu telah gagal total. Dan, momentum punggung
tanganku ‘diciumi’ oleh jutaan rakyat itu akhirnya tidak akan terjadi di beranda rumahku gegara ‘hantu’ pandemic COVID-19.
Pertanyaannya,
masih pantaskah aku ber – Idul Fitri pada lebaran kali ini? Tetapi meski
semuanya hanya sekadar begita dan begitu, toh aku masih ucapkan selamat
hari raya Idul Fitri.
@roy
enhaer
Banyuwangi,
Syawal, Selasa, 26 Mei 2020.