Pantaskah Aku Ber – Idul Fitri?



Roy Enhaer
Ketika sejumlah rangkaian ibadah pada Ramadan yang kulakoni itu jika kemudian kuilustrasikan dan kuanalogikan sebagai ‘ujian nasional’ sekolah, seperti puasa, misalnya, ternyata secara kualitatif tak berefek positif sama sekali atau jelasnya tidak bisa disebut telah lulus ujian. Padahal puasa yang kuawali dari dentang lonceng imsyak hingga ditabuhnya bedhug magrib itu benar – benar ‘kujapani’ dan kujalani dengan nawaitu se – nawaitunawaitu – nya. Juga komplit syarat – rukunnya.

Atau jangan – jangan ibadah puasa kemarin atau puasa tahun – tahun lalu yang telah kurewangi menahan perut lapar dan kerongkongan haus itu hanya sekadar seremonialitas belaka. Atau sesungguhnya puasaku itu sebatas hanya merasa tidak nyaman saja kepada tetangga kanan – kiri, dan bukan puasa yang benar – benar demi pencapaian pada kualitasnya.

Dan, jika paparan soal ibadah puasaku di atas itu sulit dan rumit untuk dipahami, maka akan kujelaskan dengan sejelas – jelasnya di bawah ini.

Intinya, ibadah puasa yang kujalani selama sebulan penuh itu ketika sudah tuntas dan diakhiri dengan ber – Idul Fitri, ternyata belum mampu move on atau berhijrah dari wilayah kotor menuju kepada zona yang putih - bersih. Lebih jelasnya lagi, meski puasa telah usai tetapi omonganku masih saja suka ngerasani atau menggunjing orang lain.

Kemudian, dampak kepedulianku kepada sesama pun masih belum bertambah kualitasnya. Dan, andai aku di suatu waktu dan di sebuah tempat terlihat peduli, itu karena ada maksud – maksud tertentu, yaitu pasti sedang mendesain dan membangun image atau pencitraan belaka demi banyak hal dan kepentingan pribadi atau kelompok yang sepaham denganku ke depannya.

Jika aku seorang pengusaha, pasti aku akan berkolaborasi dengan berguru kepada penguasa untuk merancang kepedulian kepada sesama itu ‘pantasnya’ seperti apa.

Dan, jika aku seorang pejabat yang diamanati rakyat, cara atau model kepedulian kepada rakyat yang kurakyati dan kukuasai itu seolah – olah barang – barang atau benda yang kusantunkan mereka benar – benar keluar dari kantong dan dompetku sendiri.

Padahal apa pun bentuk benda yang kuberikan kepada rakyat itu sesungguhnya milik rakyat itu sendiri. Karena caraku menyantunkan kepada mereka dibuat secara seremonial, pasti rakyat terlena kemudian mengira bahwa semua itu adalah milikku sendiri. Intinya, sesuatu yang kusantunkan itu hanya ‘mbulet’ atau berputar – putar saja. Yaitu, dari rakyat, kukelola sedemikan rupa kemudian kusalurkan kembali kepada pemilik aslinya, yakni rakyat.

Akhirnya aku mesti matur nuwun kepada pandemic Corona. Pasalnya, virus tersebut telah ‘melarang’ ku
menggelar open house jika tak ingin jutaan rakyat yang kurakyati itu ‘digigit’ virus yang mematikan itu. Artinya, bahwa peristiwa imagisasi, 'pencitraan' yang terdesain sebelumnya itu telah gagal total. Dan, momentum punggung tanganku ‘diciumi’ oleh jutaan rakyat itu akhirnya tidak akan terjadi di beranda rumahku gegara ‘hantu’ pandemic COVID-19.

Pertanyaannya, masih pantaskah aku ber – Idul Fitri pada lebaran kali ini? Tetapi meski semuanya hanya sekadar begita dan begitu, toh aku masih ucapkan selamat hari raya Idul Fitri.

@roy enhaer
Banyuwangi, Syawal, Selasa, 26 Mei 2020.

Related

Cover Story 3718288074529176225

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item