Ketika ‘Wartawan’ Berburu Parsel Lebaran



©roy enhaer
KETIKA saya menjadi ‘wartawan – wartawanan’ sepuluh – lima belas tahun lalu dan pada hari – hari menjelang lebaran H minus dua minggu seperti sekarang ini, sejak starting dari rumah sudah pasang kuda – kuda, menyimpan sejumlah jurus dan menata stamina, menyiapkan nyali dan ‘ngrai gedheg’ atau menebalkan muka agar terbebas dari rasa malu ketika tengah antre parcel di depan pintu gerbang instansi.

Jujur, kenapa pada setiap tahun saya tak pernah absen melakoni perburuan bingkisan lebaran seperti itu? Pasalnya, para wartawan sebelumnya juga secara tidak langsung telah ‘menularkan’ ilmu ‘ketuk pintu’ instansi yang kemudian saya copypaste dan akhirnya saya praktiknyatakan setiap tahun ketika injury time menjelang lebaran.

Embuh nyapo. Entah kenapa aksi berburu parcel sekaleng biscuit di pintu – pintu instansi itu menjadi agenda dan tradisi tahunan bahkan melestari hingga kini di kabupaten ini? Dan, apakah di wilayah kabupaten lain para pemburu bingkisan hari raya itu pun melakukan hal yang sama persis dan sebangun?

Apakah peristiwa perburuan omplong wafer, lengo klentik, satu sachet kecap manis, sabun korahkorah cair, dan sebotol sirup setiap jelang lebaran itu sebagai bentuk ikatan solidaritas dan simbolitas sosial antara para pemburu dengan yang diburu?

Ataukah peristiwa take and give pada setiap detik – detik lebaran itu bisa terkategorikan sebagai bentuk gratifikasi antara dua pihak yang telah bersimbiosis mutualistis kemudian dikemas sedemikian cantik dan ditransaksionalkan pada momentum jelang hari raya?

Pertanyaan lain, sesungguhnya tumpukan buntelan plastik kresek parcel harii raya itu bersumber dan dipangkaskan dari pos anggaran belanja apa? Dari institusional ataukah dari duit personal?

Pertanyaan saya lagi, kenapa sejumlah institusi ‘dinas’ sebagai obyek yang diburu tersebut sejak jauh hari telah menyediakan bingkisan lebaran kepada para ‘pemburu parcel’ pada setiap jelang lebaran seperti sekarang ini?

Apa sesungguhnya yang terjadi dan tersembunyi di balik atas semua itu? Jika dibedah, adakah berita di balik berita di dalamnya? Mungkinkah seplastik kresek parcel itu sebagai bagian dari modus ‘tutup mulut’ untuk menjinakkan saya agar tidak selalu ‘nyiyir’ dan akhirnya menjadi  ‘nyoyor’?

Akhirnya, setiap tahun jelang lebaran, sepeda motor butut saya seperti layaknya ‘mlijo’ atau penjaja pedagang keliling hingga  pating ceranthel dan sarat penuh kaleng biscuit yang tergantung di kaca spion, jok belakang, di stang setir, dan juga saya masukkan di dalam tas punggung yang tergantung di punggung.

Apakah para wartawan yang bukan ‘wartawan – wartawanan’ seperti saya itu juga beraksi serupa? Atau jangan – jangan ‘mereka’ juga beraksi sebangun tetapi cuma modus operandinya saja tidak sevulgar dan setelanjang seperti saya dengan incanginceng di pintu, dan jentrek – jentrek di depan meja instansi sejak pagi hingga menjelang senja hari.

Finally, meski ketika itu status saya sekadar ‘wartawan – wartawanan’, toh aksi perburuan parcel lebaran yang saya lakoni setiap tahun itu berjalan sesuai rencana dan sukses.

Dan, kesuksesan itu akhirnya membawa berkah di bulan yang penuh ‘barokah’ ini. Kemudian kebarokahan itu telah membarokahi dan menghiasi meja ruang tamu saya yang penuh dengan omplong biscuit dan sirup warna – warni demi menyambut lebaran nanti.

©roy enhaer
Banyuwangi, Ramadan, Minggu, 10 Mei 2020.

Related

Cover Story 794291146781368443

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item