Ketika Wabah Corona ‘Dikalahkan’ Virus Belanja

©roy enhaer
SESUNGGUHNYA secara diam – diam rakyat di negeri ini cuekcuek saja bahkan ‘ora wedi babar pisan’ dengan bencana alam pandemic Corona. Horor wabah yang mematikan dari kampung Wuhan, Tiongkok tersebut disikapi dengan sikap biasa – biasa saja dan bahkan dianggap ‘tidak pernah’ mengancam rutinitas pekerjaan sehari – hari sama sekali oleh hampir sebagian besar rakyat di Indonesia.

Terlebih di Banyuwangi, meski kabupaten tersebut masuk kategori zona merah sebaran wabah COVID-19, bahwa aksi dan interaksi sosial yang terjadi setiap pagi hingga malam hari tidak menunjukkan kegelisahan dan kepanikan massal. Pusat – pusat perbelanjaan, dan pasar – pasar tradisional tetap saja berjalan dan bertransaksi seperti biasa. Di sepanjang jalan raya juga masih padat dan sarat dipenuhi para pengguna jalan seperti jauh sebelum terjadi wabah Corona.  

Sesunggunya kegelisahan dan kepanikan massal tersebut terjadi karena soal melimpahnya bantuan sosial yang terus mengalir mulai dari pintu pusat hingga daerah atas warga yang terimbas pandemic Coronavirus. Sebagian besar rakyat sangat ‘tanggap darurat’ dan sesekali berbisik – bisik dengan tetangga, bahwa kapan mereka mendapatkan dana imbas wabah Corona tersebut.  

Kepanikan warga sesungguhnya tidak pada dampak pandemic Corona – nya tetapi lebih kepada merata atau tidak, dan mereka ‘kebagian’ atau tidak atas beragam dana bantuan sosial yang terus menggelontor dan mengalir deras itu.

Dan, indicator bahwa sebagian besar warga ‘tidak takut’ dan ‘tidak mundur’ sejengkal pun dengan wabah Corona adalah ketika bulan Ramadan sudah di depan pintu lebaran seperti sekarang ini. Arus lalu lintas para pengguna jalan tetap saja padat dan mereka ‘ora nggumun’ dengan ancaman COVID-19. Bahkan dengan sangat merdeka mereka bebas sebebas - bebasnya berkendara berkeliling 'munyer - munyer'.

Pusat – pusat kerumunan dan keramaian tetap ramai dan meriah tak menyurut sedikit pun. Di pasar subuh ramai, di pasar sore tumpah, di mall, di mini dan super market tetap saja meluber, dan di café – café pun masih saja terdapat manusia – manusia kemendel yang kongkow dan cangkrukan di meja remang – remang.

Jika sikap bangsa di negeri ini memang sedemikian cuek bebek – nya terhadap wabah COVID – 19, kenapa diterbitkan maklumat yang hanya bersifat himbauan saja kepada warga agar belajar, bekerja, dan bahkan beribadah di rumah saja? Kenapa terbit himbauan agar warga beribadah di rumah? Kemudian pihak yang melarang itu berkata tidak bermaksud ‘melarang’  warga beribadah, tetapi yang 'dilarang' adalah peristiwa nggerumbul dan berkerumunnya warga di satu titik demi meng - cut penularan virus.

Faktanya, ketika Ramadan sudah di ujung H dekat Lebaran, toh meski tidak dihimbau agar jangan berkerumun di tempat ibadah pun, sekarang warga sudah ‘meninggalkan’ nya dan bergeser ‘beribadah’ di pusat – pusat keramaian demi memenuhi nafsu shopping dan  ‘virus’  belanja mereka menyambut lebaran yang tinggal menghitung hari itu.

Bukankah akhirnya wabah Coronavirus itu kalah telak oleh virus belanja demi konsumtifisme atau acara mbadhog pada lebaran?      

©roy enhaer
Banyuwangi, Ramadan, Rabu, 20 Mei 2020.

Related

Cover Story 3592303452113407583

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item