Ratusan Nyawa Melayang, ‘Lupa’ Bendera Setengah Tiang

©roy enhaer
TAK SEORANG pun hingga kini yang berani ‘meramal’ sampai kapan makhluk ‘pencabut nyawa’ berjuluk COVID – 19 yang lahir dari Smart Kampung di Wuhan, Tiongkok, itu masih ‘kerasan’ berlama – lama di negeri kita?

Lihat saja bahwa grafik quickcount atas  mortalitas atau angka kematian akibat Coronavirus itu semakin hari faktanya semakin melaju di negeri ini. Bahkan negeri ini terdaftar di peringkat ke – 6 dunia setelah Perancis. Mungkinkah angka – angka resmi dari corong pemerintah itu benar – benar terkonfirmasi kemudian dilaporkan dengan ‘bloko suto’, realistis, apa adanya, dan jujur – jujur saja sesuai peristiwa, data, dan fakta yang terjadi di lapangan?

Dalam konteks tersebut, posisi kita sebagai rakyat sekadar bertanya dan jangan ‘kesusu’ dimarahi dulu. Mungkinkah angka – angka mortalitas tersebut semacam human error dan ‘salah kutip’ atau ‘sengaja’ tak di - publish  ke ruang public sesuai kefaktaan yang ada? Ataukah barangkali demi menjaga agar tidak terjadi kepanikan dan kegaduhan nasional atas wabah Corona yang melindas negeri ini? Pasalnya, benarkah kata berita bahwa total jenazah yang dikuburkan selama ini ‘lebih banyak’ dari data ‘resmi’ yang meninggal dunia akibat virus ‘gaib’ yang tak terlihat mata telanjang itu?

Tapi sudahlah, itu tak penting. Yang paling penting adalah betapa harga dan nilai sebuah nyawa manusia itu sesungguhnya di atas segala – galanya dari materi apa pun yang kita miliki hari ini. Padahal ratusan nyawa yang melayang akibat terpapar Coronavirus itu adalah nyawa manusia, adalah nyawa ratusan rakyat di negeri ini.

Dan, hingga kini sudah berapa para dokter dan tenaga mediskah ketika mereka berperang di garda paling depan itu meregang nyawa demi menghadang kejamnya sebaran dan penularan virus COVID – 19, itu?   

Padahal modus operandi sebaran virus itu sekaligus daya bunuhnya terhadap manusia sangat tidak kenal kompromi dan negosiasi, apalagi melakukan MoU sebelumnya.

Uniknya, Coronavirus itu tidak pernah menglasifikasikan kepada calon korbannya. Entah itu manusia pejabat atau penjahat. Entah itu konglomerat atau rakyat melarat. Tak peduli tua atau muda, lelaki atau perempuan, berwajah rupawan atau tidak, baik ulama atau manusia ‘mulang sarak’, manusia ilmuwan ataukah yang paling awam, semuanya masuk dalam ‘daftar tunggu’ dan tetap saja ‘disikat’ hingga sekarat jika virus itu menghendaki mereka.

Bukankah hingga hari ini korban meninggal yang terpapar dan terkapar virus Corona itu sudah mencapai dua ratusan lebih atas nyawa rakyat yang meregang di negeri ini? Dan,  kenapa hingga hari ini bahwa kita sebagai bangsa telah ‘lupa’ tidak memancangkan bendera setengah tiang demi mengenang saudara – saudara kita sebangsa dan senegeri ini?

Sudahkah kita ber - Al Fatikhah kepada para sahabat yang gugur di tengah pandemic Coronavirus, itu? Sudahkah kita heningkan cipta bersama dengan lirik tembang duka Gugur Bunga dan kibarkan bendera berkabung setengah tiang? Pernahkah kita bersemoga agar dua ratusan lebih orang di negeri ini yang meninggal dunia akibat terjangkit COVID-19 itu sesungguhnya telah dimuliakan oleh – Nya?  

Ataukah selama ini cara kita berpikir bahwa ratusan nyawa sedulursedulur yang terpapar dan terkapar pandemic virus Corona itu disamasebangunkan dengan nyawa kucing – kucing liar di pasar? 

©roy enhaer
Banyuwangi, Rabu, 08 April 2020

Related

Cover Story 6775825992047587571

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item