Pasar ‘Wit – Witan’, Dikonsep Layaknya Zaman Kerajaan
http://www.diplomasinews.net/2020/03/pasar-wit-witan-dikonsep-layaknya-zaman.html
WAJAH
PASAR ‘WIT – WITAN’ : Wisata kuliner yang dikemas menjadi Pasar ‘Wit – Witan’
itu berada di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jawa Timur. [
image : tri budi prastyo ]
|
DIPLOMASINEWS.NET_ALASMALANG_BANYUWANGI_Ternyata,
pemerintah Kabupaten Banyuwangi memang ‘akeh akale’, penuh kreativitas dan
rekreatif dalam menciptakan apa saja di wilayahnya. Dan, salah satu produk
kreativitas tersebut adalah lahirnya destinasi wisata kuliner yang dikemas dalam
bentuk nyata, yakni, Banyuwangi Traditional Market atau Pasar Wit – Witan.
Disebut
pasar Wit – Witan, karena lokasi pasar tersebut benar – benar berada tepat di
bawah ‘wit’ atau pepohonan yang rimbun dan asri. Ketika pasar itu digelar setiap
hari Minggu, pengunjung pun membeludak dan berjejal memenuhi area pasar di
bawah pepohonan itu.
Pasar
yang berlokasi di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jawa
Timur, itu, sesungguhnya hanya menawarkan ragam jenis jajanan tradisional kepada
ratusan pengunjung yang dijajakan di atas meja – meja lapak dengan desain rumah
gubug dari bambu.
HANYA
SEPULUH RIBU RUPIAH : Ketua pokdarwis Pasar ‘Wit – Witan’, Akbar, mengatakan
bahwa setiap pemilik lapak hanya dipungut sepuluh ribu rupiah saja. [ image :
tri budi prastyo ]
|
Ketika
mata kamera DIPLOMASINEWS.NET, memotretnya, ternyata jenis jajanan yang
dijajakan di Pasar Wit - Witan itu seperti, sumping, lupis, cenil, klepon,
lanun, onde – onde, kue lapis, dan jenis – jenis kue olahan tradisional lainnya.
Sementara
itu, ketua kelompok sadar wisata [ Pokdarwis ] Pasar Wit – Witan, Akbar, saat
ditemui DIPLOMASINEWS.NET, di sela – sela ratusan pengunjung, mengatakan bahwa
awal mula disebut Wit – witan karena memang lokasinya berada
tepat di bawah keasrian dan sejuknya pepohonan yang rimbun.
Lanjut
Akbar, awalnya pasar itu memang digagas dengan konsep wajah pasar tempo dulu. Desain
bangunan lapak – lapaknya pun dicitrakan seperti layaknya pasar pada zaman kerajaan
masa lampau yang atapnya terbuat dari welit,
dan tiang – tiangnya dari bahan bambu.
Masih
menurutnya, pihaknya berharap agar pasar Wit
– Witan tersebut menjadi pilihan alternative
bagi para pengunjung dengan suguhan yang berbeda dari pasar – pasar lainnya.
“Pasar
ini dibuka sejak pagi setiap Minggu hingga pukul 11 siang. Saya berharap para
pengunjung merasa kerasan, dan
kemudian kembali lagi berkunjung di pasar Wit – Witan, lagi,” harap Akbar,
ketika ditemui DIPLOMASINEWS.NET, di depan lapak, Minggu, 01 Maret 2020.
Ketika
disinggung soal berapa para penjaja kue tradisional itu harus membayar restribusi?
Dirinya dengan jujur menjawab bahwa pihaknya hanya memungut Rp. 10 ribu setiap
pemilik lapak. Akunya lagi, hingga hari ini, jumlah lapak yang menjajakan
kuliner tradisional tersebut berkisar 60 lapak.
Lanjutnya,
pasar tersebut digelar hanya pada hari Minggu saja, dan dengan kalimat lain
menjadi empat kali gelaran dalam sebulan.
“Dana
restribusi itu semata – mata hanya buat perawatan pasar saja. Bukan untuk apa –
apa selain itu,” aku Akbar ketika menjawab pertanyaan DIPLOMASINEWS.NET.
‘KETIBAN’
DANA : Kepala Desa Alasmalang, Surigo, berucp bahwa untuk ‘menciptakan’ pasar
Wit – Witan itu, pihak desa ‘didapuk’ sebagai penyokong dana. [ image : tri
budi prastyo ]
|
Di
tempat terpisah, salah satu pemilik lapak, Luluk, 35 tahun, mengatakan bahwa
dengan adanya pasar Wit – Witan tersebut benar – benar merasa
diuntungkan secara ekonomis. Dirinya, yang setiap hari hanya bekerja di sawah
itu, kini telah memiliki aktivitas lain yang dapat mengahasilkan uang.
“Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan
penghasilan tambahan dari dodolan di
pasar ini,” ucap wanita yang manjajakan kue – kue tradisional itu ketika
ditemui DIPLOMASINEWS.NET, sembari duduk di atas lincak lapaknya, Minggu, 01 Maret 2020.
Lanjutnya,
dirinya membuka lapak mulai pagi hingga siang dengan jajajan tradisionalnya
itu, bisa meraup keuntungan hingga kisaran Rp. 700 ribu.
Di
tempat terpisah, Kepala Desa Alasmalang, Surigo, ketika ditemui
DIPLOMASINEWS.NET, di rumahnya, berucap bahwa penggagas lahirnya pasar Wit – Witan di desanya itu, bermula dari ide camat Singojuruh. Masih ucapnya,
meski pihak kecamatan sebagai penggagas awal hingga pasar itu berdiri, tetapi
yang ‘ketiban’ finansialnya adalah pemerintahan desa.
Masih
ucap orang nomor satu di desa Alasmalang, itu, bahwa setiap bangunan lapak
meski dari bahan sederhana, tetapi pihaknya telah menggelontor dana sebesar Rp.
1, 250. 000, setiap lapak. Sesuai catatan, ucapnya, bahwa di dalam Pasar Wit – Witan tersebut sedikitnya terdapat 63 lapak yang telah terbangun.
“Ya,
silakan kalkulasi sendiri dan berapa dana yang harus tergelontorkan dari desa,”
ucapnya sembari senyam – senyum, ketika menjawab
DIPLOMASINEWS.NET, di ruang tamu rumahnya, Minggu, 01 Maret 2020.
Kalimat
pungkasnya, kepala desa tersebut mengatakan bahwa dana untuk menciptakan Pasar Wit – Witan tersebut, ‘diciduk’ atau dianggarkan dari alokasi dana desa
atau ADD di desanya.
“Doakan,
semoga kebaradaan Pasar Wit – Witan di desa ini bisa semakin tumbuh dan
berkembang,” pungkas orang ‘number one’ di desa itu saat memungkasi
wawancaranya bersama DIPLOMASINEWS.NET.
Onliner
: tri budi prastyo
Editor
: roy enhaer
Publisher
: oma prilly