Menakar Harga ‘Kursi Bupati’ di Pilkada Banyuwangi
http://www.diplomasinews.net/2020/02/menakar-harga-kursi-bupati-di-pilkada.html
@roy enhaer |
BEBERAPA jenak
bulan lagi, pesta demokrasi pemilihan kepala daerah – pilkada – digelar
serentak secara nasional yang teragendakan pada 23 September 2020. Includes, termasuk di antaranya kabupaten paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi,
itu juga menghelat coblosan pilbub
tahun ini.
Keruan saja, suhu atmosfir
langit Banyuwangi derajat celsiusnya menjadi hangat – hangat ‘tahi ayam’ dan
suam – suam kuku. Pasalnya, banyak ayam jago dan pitik babon kandidat
bupati yang hari – hari ini mulai berkokok sembari memperlihatkan dan
menyombongkan ketajaman taji – tajinya demi bertarung hidup – mati di
gelanggang pilbub nanti.
Siapa
sajakah sosok para ‘ayam pejantan’ atau kandidat pilbub yang nanti akan serius berlaga
di atas ring pada saat D – day? Siapakah
ayam petarung yang hari ini sudah ready
mempersiapkan nyalinya? Adakah sosok yang hanya sekadar ayam sayur sebagai
penggembira pilkada saja? Dan, jangan lupa, siapakah sesungguhnya yang
berposisi dan dipersiapkan sebagai bebotoh
di balik pesta demokrasi pilbub di Banyuwangi, nanti?
Maaf
sejuta maaf, saya tidak sedang meneropong pesta demokrasi pilbub di Banyuwangi
dengan teori dan perspektif politik praktis seperti kebanyakan para pakar itu,
tetapi saya lebih memilih bahwa pesta demokrasi di tingkat apa dan apa pun
namanya, pasti tak pernah steril dengan aroma perjudian.
Tak
hanya itu, pesta demokrasi di negeri Pancasila ini sangat membutuhkan ‘jer
basuki mawa bea’ alias ongkos demokrasi berbiaya tinggi atau high cost.
Jika tidak, seorang kandidat harus siap menjadi pecundang dan terjerembab di
pojok gelanggang.
Sekadar
catatan kaki, bahwa sejumlah kandidat yang berlaga pada pilkada di Banyuwangi,
nanti, bisa dipastikan new comers atau wajah – wajah baru.
Pasalnya, bupati petahana yang telah memimpin dua episode tersebut tidak diizinkan oleh aturan main untuk ‘lungguh’
tiga kali di kursi kebupatian.
Saya
yakin, andai bupati petahana itu dibolehkan undang – undang untuk memimpin kali
ketiga, pasti ikut kontestasi lagi dan bersegera mengurus persyaratan ‘tetek
bengek’ nya dengan membawa surat pengantar dari RT, RW lebih dulu.
Lantas
siapa ‘jago – jago’ pilkada di Banyuwangi yang akan berjibaku pada pilkada
nanti? Jika orang cengoh dan tidak
pernah ‘makan’ sekolahan seperti saya ini dan jika boleh mengandai – andai
siapa sosok yang patut dan pantas lungguh
di kursi bupati menjadi orang nomor satu di Banyuwangi, saya akan jawab, sosok incumbent lah yang pasti pas.
Pertanyaannya,
tak adakah sosok yang lebih smart,
mumpuni, cerdik, inovatif, futuristic,
visioner, dan kreatifitasnya menyamai incumbent
dalam memimpin kabupaten ini selama dua era tersebut? Mosok – lah dari sekian juta penduduk Banyuwangi tak satu pun yang
sanggup mengelola kabupaten ini selain yang ‘satu itu’ dan hanya ‘itu – itu’ saja
satu – satunya yang mampu?
Terlepas
siapa akhirnya pada coblosan pilkada
Banyuwangi nanti yang berhasil meraih suara terbanyak, pasti akan melewati
proses demokrasi berbiaya tinggi. Pasalnya, nilai – nilai demokrasi di negeri
demokratis ini sangat ‘ditentukan’ oleh aksi – aksi transaksi serba materi.
Salah
satu faktor yang paling telanjang dan nyata dalam praktik – praktik di masyarakat
adalah soal pola pikir dan mentalitas warga calon pemilih yang hari – hari ini
sudah benar – benar sangat komersial ketika menjelang coblosan apa pun di negeri ini.
Dan,
pertanyaan krusialnya terhadap kandidat adalah, jika mentalitas warga pemilih
sudah terbangun menjadi serba materi tersebut, kemudian ketika telinga para
kandidat itu mendengar kalimat pendek dari calon pemilih : NPWP alias Nomor Piro dan Wani Piro? Atau APBD, Aku gelem
Pilih kowe tapi Berapa Duitmu?
Bukankah
ujaran singkat itu telah menampar wajah dan mengoyak nurani demokrasi? Dan, menempeleng
metode ilmiah jajak pendapat yang selama ini diyakini keilmiahannya.
Pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang menciptakan tradisi transaksional ketika
menjelang pesta demokrasi apa pun di negeri demokratis ini?
Siapakah
sesunggunya yang mengawali dan mentradisikan money politik, politik
uang, yang kini sudah semakin mendarah daging ini? Rakyat atau calon
pejabatkah yang mesti menanggung ‘dosa demokrasi’ di negeri Pancasila, ini?
Sekali
lagi, jika nafsu birahi politik para kandidat untuk duduk di kursi orang nomor
satu di kabupaten ini, siapkan saja pundi – pundi materi dan uang receh sebanyak – banyaknya demi daftar pemilih
tetap [ DPT ] yang akan nyoblos ke dalam
bilik TPS pada pesta pilbub nanti. Atur juga strategi dan siasat seperti apa agar
berhasil melancarkan serangan subuh menjelang fajar, memprovokasi ketika bedhug di siang hari, bergerilya saat
menjelang senja, dan atau membombardir saat dini hari ketika kandidat lain
tengah lelap tertidur.
Selamat
berjuang dan berlaga di pilkada 2020 buat para kandidat!
Roy Enhaer
Thursday,
February 06, 2020.