Nyi Roro Kidul : Orang Kurang Kerjaan yang Mimpikan ‘Kerajaan’.
http://www.diplomasinews.net/2020/01/nyi-roro-kidul-orang-kurang-kerjaan.html
[ Ilustrasi ]
|
TEPAT
malam Jumat, kemarin, saya memberanikan diri untuk confirm dengan sosok wanita rupawan penguasa pantai selatan yang
berjuluk Kanjeng Ratu Roro Kidul, itu. Maksudnya, saya kepingin kejelasan agar clear yang terucap dari mulut wanita
cantik itu sendiri tentang kegaduhan seputar fenomena bahwa hari – hari ini
banyak sekali manusia di Indonesia begitu gampangnya mendirikan sebuah kerajaan dan emperium.
Memang
tak gampang untuk wawancara ekslusif dengan sang ratu penguasa segoro kidul itu. Pasalnya, di samping agendanya padat dan sibuk dengan tugas – tugas
keratuannya. Ternyata saya butuh waktu lama untuk sampai di istananya kemudian kulo
nuwun di ruang kerjanya.
Ternyata,
keberadaan istana sang ratu itu tidak pernah terekam dan luput dari kamera
google map. Karena, letaknya berada di telenging segoro. Di tengah
samudra luas yang tak bertepi.
Tetapi,
saya masih beruntung dan akhirnya mendapatkan titik koordinat posisi kerajaan milik
Nyi Roro Kidul itu berkat bantuan sahabat saya yang bekerja sebagai sekuriti
istana.
Singkat
cerita, penguasa laut kidul yang rupawan itu langsung minarakne,
mempersilakan saya duduk di atas karpet tebal warna hijaunya. Sementara dia
duduk di atas kursi singgasana berukirnya yang juga berwarna hijau. Tiba – tiba
dia bertanya kepada saya hanya dengan sepenggal kata saja.
“Manusiakah?,” tanya sang ratu, pendek sembari membetulkan letak mahkota emasnya.
“Iya,”
jawab saya lebih pendek.
“Maksudku,
kau itu manusia biasa atau seorang raja?"
“Manusia
biasa – biasa saja kok, Nyai”
“Apa
tujuan dan bersama siapa kamu ke sini?”
“Sendirian,
dan tujuan saya kepingin penjelasan dari Nyai soal kegaduhan atas
bermunculannya kerajaan – kerajaan di negeri saya”
Wajah
wanita anggun penguasa segoro kidul itu terhenyak sejenak demi mendengar apa
yang saya ucapkan. Kemudian dia tersenyum tapi hanya sesimpul dan akhirnya
tertawa cekikikan hingga deretan gigi
putihnya yang miji timun itu tampak indah.
“Ada
apa, Nyai? Ada yang salah dengan ucapan saya?”
Sang
ratu tak menjawab sepenggal kata pun atas pertanyaan saya. Hanya, jari telunjuk
tangan kanannya saja yang ditempelkan dengan posisi miring di dahinya.
Saya
hanya terdiam dan bergumam untuk mencoba menerjemahkan gestur dari gerakan tubuh Nyai Ratu. Edan tenan pancene bocah – bocah
iki. Apakah telunjuk tangan itu adalah sebuah simbolitas atas ‘kegilaan’
manusia – manusia di negeri saya yang akhir –akhir ini lagi ngetren bikin
kerajaan di mana – mana itu?
“Bangsa
manusia seperti bangsamu itu lagi mengidap penyakit ndeleming. Mengigau,
berhalusinasi,” ucap penguasa pantai selatan itu tiba – tiba.
Lanjutnya, lha wong
di negerimu sudah canggih kok ya masih saja ada manusia memimpikan
romantisme sebuah kerajaan lagi. Jangan –jangan mereka – mereka itu kepingin dan cemburu dengan orang –
orang yang akan membangun ibu kota baru, karena tidak pernah dilibatkan dan rembugan sebelumnya. Akhirnya, dari pada nganggur kemudian iseng – iseng bikin kerajaan bodong sendiri
dengan modus operandi ngapusi para pengikutnya.
“Semakin
bingung saja saya, Nyai”
“Ya
jelas bingung, wong kamu juga ikut ndeleming”.
Masih ucapnya, negrimu itu aneh. Investasi saja bodong,
berangkat umrah ya bodong, asuransi
pun bodong, kasus PAW juga bodong, dan terakhir lebih lucu lagi yaitu, kerajaan
bodong telah marak di negrimu.
Coba
dengarkan, ucapnya, negrimu itu kan sudah republik. Sudah sangat demokrasi
meski semakin hari semakin banyak pejabat yang tersangka korupsi.
“Terus
saya harus bagaimana, Nyai?”
“Ya
tidak harus bagaimana – bagaimana. Memangnya kamu bisa dan mau kamu
bagaimanakan negerimu itu?”
“Bagaimana
itu enaknya harus dibagaimanakan, Nyai?”
Kayaknya
Nyai Roro Kidul menjadi jengkel dan geram atas pertanyaan yang sengaja saya
pelintir, itu. Kemudian wanita ayu bermahkota itu memungkasi kalimatnya dengan
mengajak saya untuk kemungkinan pindah domisili tinggal di kerajaannya. Menurut Nyi Ratu
bahwa eksistensi dan keberadaan
kerajaannya telah berstatus legal. Resmi memiliki kredibilitas dan telah
mengantongi izin formal dari kesbangpol
kerajaan. Maksudnya, tidak seperti kerajaan – kerajaan di bangsa manusia yang baru
saja raja dan permaisurinya dicengkriwing polisi itu, karena status
hukumnya bodong alias illegal. Hanya
manusia – manusia yang kurang kerjaan saja yang bermimpi mendirikan ‘kerajaan’.
Kalimat
pungkasnya, jika ada waktu berkacalah untuk melihat kerajaannya di pantai
selatan yang penuh kedamaian, warganya saling menghargai penuh ketoleransian,
pejabatnya tidak pernah gegeran
berebut kedudukan, tak pernah terjadi money
politic, dan yang paling indah adalah
tidak pernah ada aksi kejahatan korupsi di birokrasi meski tidak ada lembaga anti rasuah yang berdiri.
Akhirnya,
saya pun pamit pulang. Tak terasa saya sudah tidak duduk lagi di atas karpet
hijau, tetapi tubuh saya telah berdiri di pinggir pantai. Suara debur ombak yang
menggunung itu menghantam dan memecah angkuhnya batu karang bersama suara cericit dan kepak
sayap camar yang sedang mancari mangsa hingga di batas garis kaki langit yang jauh dan tak bisa
disentuh itu.
Dan,
jejak – jejak kaki saya di atas hamparan pasir itu pun telah disapu ombak laut
selatan.
@roy
enhaer
Watu Ulo, Jember, Malam Jumat, 23 Januari
2020