'Tiban' Bukan Arogansi, Tapi Ajang Silaturahmi
http://www.diplomasinews.net/2019/11/tiban-bukan-arogansi-tapi-ajang.html
Tiban
adalah seni kearifan local yang utamanya berada di Jawa Timur. Tradisi tiban yang
sering dilakonkan pada kemarau panjang dan sebagai ritual untuk ‘njaluk’ atau
meminta hujan dengan saling beradu cambuk antara dua orang lelaki, baik tua
maupun muda.
Pangung seluas 6x6 meter setinggi 1 meter itu
dijadikan arena pertarungan antara dua
orang lelaki bertelanjang dada sembari tangan mereka menggenggam pecut atau cambuk yang terbuat dari sodo [ sapu lidi ] yang dianyam atau
dipilin.
“Tiban adalah salah satu jenis seni tari juga, kok. Bukan perkelahian, apalagi tawuran antara dua orang atau pamer
arogansi. Bahkan tiban juga sebuah sarana silaturahmi antar sesama,” terang
Gito, 45 tahun, ketua panitia pagelaran tiban, ketika ditemui
DIPLOMASINEWS.NET, di sela-sela ‘adu cambuk’ itu berlangsung, Minggu, 10
November 2019.
Terangnya lagi, jika seni tradisi tiban itu
dimaknai sebatas hanya ‘pecut-pecutan’ hingga
punggung robek antara dua lelaki di atas panggung, baginya itu kurang tepat. Menurutnya,
tiban harus dimaknai lebih dari itu. Tiban
bisa dijadikan ajang atau sarana persaudaraan antar teman.
BUKAN AROGANSI : Kepada DIPLOMASINEWS.NET, Gito,
ketua panitia ‘tiban’ berucap bahwa tradisi tiban bukan bentuk arogansi, tapi
sebuah ajang silaturahmi. [ image : roy enhaer/diplomasinews.net ]
|
Pasalnya, para peserta tiban yang digelar di lapangan Dusun Trembelang, Cluring, Banyuwangi.
Jawa Timur, itu, tak hanya dari Banyuwangi, saja, tetapi mereka datang dari
luar kabupaten, seperti, Tulungangung, Blitar, Ponorogo, dan hingga Trenggalek.
“Bukankah antara Banyuwangi dan Trenggalek bisa saling silaturahmi lewat ajang seni tiban, ini?” jelas Gito.
“Bukankah antara Banyuwangi dan Trenggalek bisa saling silaturahmi lewat ajang seni tiban, ini?” jelas Gito.
Pengamatan DIPLOMASINEWS.NET, bahwa masing-masing
pemain hanya diberi kesempatan ‘mecut’ atau mencambuk lawannya sebanyak tiga kali secara bergantian. Meski begitu, tradisi tiban dalam
pelaksanaannya di atas panggung dipimpin oleh seorang wasit.
Tak hanya itu, bunyi lecutan pecut yang bisa
merobek punggung para pemain tiban itu menjadi tak terasa sakit karena alunan
gending – gending khas Banyuwangi selalu mengiringinya selama pertarungan ‘adu
cambuk’ itu berjalan di atas panggung.
“Tiban jangan diartikan lain-lain. Pastikan bahwa
seni tari tiban itu sebuah hiburan bagi masyarakat. Kami hanya melestarikan
tradisi tiban yang hampir punah itu, ” pungkas Gito, ketika memungkasi
interviunya bersama DIPLOMASINEWS.NET, Minggu, 19 November 2019.
Onliner : oma prilly
Editor : roy enhaer