Tanpa ‘Uang’, Kau Pasti Jadi Pecundang


@roy enhaer
Yang saya pahami, bahwa di The Republic of Indonesia ini, paling tidak, ada dua macam pemimpin yang lahir sebagai pemimpin. Contoh paling awam dan sederhana adalah pemimpin desa yang disebut kepala desa.

Dalam prosesnya, ketika seseorang itu berhasil menjadi kepala desa ternyata mesti melalui perjalanan yang panjang, banyak persyaratan yang harus dipenuhi, rumit,dan berliku. Kandidat kepala desa tak hanya cukup mengandalkan kecakapan intelektualitas semata atau smart, kompetensi yang mumpuni, setinggi apa factor popularitasnya, rekam jejak hidupnya, dan kualitas moralitas, saja.Tetapi yang tidak kalah penting dan sangat urgen adalah seberapa banyak factor financial dan pundi-pundi rupiah yang dimilikinya.

Pasalnya,  budget atau anggaran tersebut teramat sangat menentukan atas berhasil tidaknya seseorang dalam memenangi pertarungan ketika pilkades itu digelar. Jika soal financial itu terabaikan dan tidak dinomorsatukan pada kompetisi gelaran pilkades, jangan berharap banyak bahwa kandidat yang berlaga pada pesta demokrasi level desa tersebut akan berhasil sebagai pemenang.   

Lagi-lagi pasalnya, bahwa factor financial itu menjadi syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan ketika seseorang akan bertarung pada helatan pilkades di desanya. Disebut penting dan mutlak karena soal anggaran itu pasti dipersiapkan dan digunakan untuk transaksional dan ‘barter’ suara para calon pencoblos agar pada hari – H nanti dipastikan mencoblos gambar dan nomor kandidat yang telah memberinya rupiah, itu.

Dan, factor financial ternyata tak hanya ‘dialokasikan’ untuk jual – beli suara saja, tetapi, jangan lupa bahwa setiap kali ada gelaran pesta rakyat, seperti, pemilihan kepala desa, calon legeslatif, bupati, gubernur, walikota, bahkan pesta demokrasi paling elit pemilihan presiden pun, factor yang satu ini, yakni, perjudian, selalu menjadi subyek yang tak bisa terpisahkan dan include ikut mewarnainya. Dalam praktiknya, mereka itu beraksi sunyi dan sepi, bergerak tanpa jejak, bergerilya tanpa suara, muncul tanpa perlihatkan wajah. Hanya aromanya saja yang bisa merebak.

Ketika dan bahkan jauh hari sebelum pesta demokrasi itu digelar, para pelaku gambling itu, sudah berani memprediksi atas siapa kandidat yang bakal unggul sebagai pemenang, dan siapa yang pasti ‘nyungsep’ bernasib pecundang.

Dan, oleh para gambler, ternyata kandidat-kandidat pilkades itu benar-benar dijadikan komoditas perjudian, obyek taruhan antara menang dan kalah, bahkan dijadikan praktik modus ‘dagangsapi’ demi meraup lembar – lembar rupiah sebanyak-banyaknya. Rumus mereka jelas bahwa tak penting siapa pun pemenangnya dan siapa yang ‘ndelosor’ sebagai pecundang.

Meski, tanpa bukti dan fakta, ternyata banyak cerita pilu sekaligus menggelikan bahwa para ‘pebotoh’ tersebut sesungguhnya telah menawarkan jasa baik dan bahkan sanggup menentukan ‘nasib’ para kandidat pilkades tersebut jika kepinginunggul suara sebagai pemenang. Syaratnya, sang kandidat harus bersedia member persekot kepada ‘pebotoh’ yang besaran nominalnyas angat relative.

Jika memang harus demikian adanya, bukankah seekor ‘wedus’ asal memiliki duit dan ‘beruang’  jika didesain untuk dipertarungkan di kontestasi kekuasaan bisa saja meraup suara unggul dan menjadi pemenang.

Silakan untuk tidak percaya. Ternyata, ketika jauh sebelumnya hingga injury time, detik – detik akhir menjelang hari – H pencoblosan, pihak ‘pebotoh’ bergerak dari pintu kepintu dengan menyisir dan mendatangi kediaman para kandidat untuk bersepakat ‘nyang – nyangan’, bargaining, bartering, dan negotiating, untuk bersepakat di antara mereka.

Jika sang kandidat, misalnya, sanggup memberi rupiah seratus juta, para ‘pebotoh’ menjamin, dan menggaransi dengan tingkat ‘kepastian’ berhasil memenanginya pada gelaran pilkades tersebut. Jika kandidat pertama tak sanggup menyiapkan dana sebesar itu, para ‘pebotoh’ akan bergeser pindah ke kandidat lain yang sanggupmemenuhi tawaran dana yang dimintanya. Benarkah bangsa ini tengah menjalani dan ngelakoni apa yang disebut dengan peradaban demokrasi ‘dagang sapi’?

Sekali lagi, silakan untuk tidak mempercayainya. Bahwa kandidat yang unggul perolehan suaranya ‘pasti’ ketika itu sanggup memenuhi prasyarat yang diminta. Dan, kandidat yang tumbang, ‘pasti’ dirinya tidak sanggup menyediakan syarat-syarat yang dimintanya. Tak pahamkah bahwa untuk menjadi pemimpin di negeri ini harus lebih dulu menjadi ‘beruang’ dan berkantong tebal? Pasalnya, hari-hari ini yang sanggup menjadi ‘pendekar’ dan‘ panglima perang ’dalam konteks kekuasaan adalah makhluk yang berjuluk uang.

Akhirnya, di negeri Pancasila, ini, telah terjadi fenomenalitas atas diri seorang pemimpin ketika memenangi pada gelaran pilkades. Intinya, secara instan banyak pemimpin yang ‘dilahirkan’ atas dasar selera pasar, atas dasar seberapa dirinya sanggup ‘membayar’ fulus tunai kepada pihak luar yang bisa menentukan ‘nasib’ nya sebagai pemimpin.

Adakah hari – hari ini dan di negeri demokrasi ini telah lahir seorang pemimpin rakyat yang tumbuh dari suara sejati rakyat, entah itu, pada level bupati, gubernur, dan bahkan presiden sekali pun. Masih adakah seorang pemimpin di negeri ini yang lahir ‘procot’ dari kandungan suara rakyat murni tanpa harus mengandalkan rekayasa iming-iming atau kompensasi materi?

Finally, saya terpaksa harus mengatakan dengan pertanyaan klise dan klasik tentang seberapa banyakkah pundi – pundi rupiahmu itu bisa dijadikan modal meraih kekuasaan pada kontestasi pilkades atau apa pun namanya?

Era demokrasi jenis dan model apakah sesungguhnya yang kini tengah terjadi dan berlangsung di negeri Nusantara, ini?

@roy enhaer
Banyuwangi, Sabtu, 02 November 2019

Related

Cover Story 2542829174228160247

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item