Tanpa ‘Uang’, Kau Pasti Jadi Pecundang
http://www.diplomasinews.net/2019/11/tanpauang-kau-pasti-jadi-pecundang.html
@roy enhaer |
Dalam prosesnya, ketika seseorang itu berhasil menjadi
kepala desa ternyata mesti melalui perjalanan yang panjang, banyak persyaratan
yang harus dipenuhi, rumit,dan berliku. Kandidat kepala desa tak hanya cukup mengandalkan
kecakapan intelektualitas semata atau smart,
kompetensi yang mumpuni, setinggi apa factor popularitasnya, rekam jejak hidupnya,
dan kualitas moralitas, saja.Tetapi yang tidak kalah penting dan sangat urgen adalah
seberapa banyak factor financial dan pundi-pundi rupiah yang dimilikinya.
Pasalnya,
budget atau anggaran tersebut teramat
sangat menentukan atas berhasil tidaknya seseorang dalam memenangi pertarungan ketika
pilkades itu digelar. Jika soal financial
itu terabaikan dan tidak dinomorsatukan pada kompetisi gelaran pilkades, jangan
berharap banyak bahwa kandidat yang berlaga pada pesta demokrasi level desa tersebut
akan berhasil sebagai pemenang.
Lagi-lagi pasalnya, bahwa factor financial itu menjadi
syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan ketika seseorang akan bertarung pada
helatan pilkades di desanya. Disebut penting dan mutlak karena soal anggaran itu
pasti dipersiapkan dan digunakan untuk transaksional dan ‘barter’ suara para calon
pencoblos agar pada hari – H nanti dipastikan mencoblos gambar dan nomor kandidat
yang telah memberinya rupiah, itu.
Dan, factor financial ternyata tak hanya
‘dialokasikan’ untuk jual – beli suara saja, tetapi, jangan lupa bahwa setiap
kali ada gelaran pesta rakyat, seperti, pemilihan kepala desa, calon legeslatif,
bupati, gubernur, walikota, bahkan pesta demokrasi paling elit pemilihan presiden
pun, factor yang satu ini, yakni, perjudian, selalu menjadi subyek yang tak bisa
terpisahkan dan include ikut mewarnainya.
Dalam praktiknya, mereka itu beraksi sunyi dan sepi, bergerak tanpa jejak,
bergerilya tanpa suara, muncul tanpa perlihatkan wajah. Hanya aromanya saja
yang bisa merebak.
Ketika dan bahkan jauh hari sebelum pesta demokrasi
itu digelar, para pelaku gambling itu,
sudah berani memprediksi atas siapa kandidat yang bakal unggul sebagai pemenang,
dan siapa yang pasti ‘nyungsep’ bernasib pecundang.
Dan, oleh para gambler, ternyata kandidat-kandidat pilkades itu benar-benar dijadikan
komoditas perjudian, obyek taruhan antara menang dan kalah, bahkan dijadikan praktik
modus ‘dagangsapi’ demi meraup lembar – lembar rupiah sebanyak-banyaknya. Rumus
mereka jelas bahwa tak penting siapa pun pemenangnya dan siapa yang ‘ndelosor’
sebagai pecundang.
Meski, tanpa bukti dan fakta, ternyata banyak cerita
pilu sekaligus menggelikan bahwa para ‘pebotoh’ tersebut sesungguhnya telah menawarkan
jasa baik dan bahkan sanggup menentukan ‘nasib’ para kandidat pilkades tersebut
jika kepinginunggul suara sebagai pemenang.
Syaratnya, sang kandidat harus bersedia member persekot kepada ‘pebotoh’ yang besaran nominalnyas angat relative.
Jika memang harus demikian adanya, bukankah seekor
‘wedus’ asal memiliki duit dan ‘beruang’
jika didesain untuk dipertarungkan di kontestasi kekuasaan bisa saja meraup
suara unggul dan menjadi pemenang.
Silakan untuk tidak percaya. Ternyata, ketika jauh
sebelumnya hingga injury time, detik
– detik akhir menjelang hari – H pencoblosan, pihak ‘pebotoh’ bergerak dari pintu
kepintu dengan menyisir dan mendatangi kediaman para kandidat untuk bersepakat
‘nyang – nyangan’, bargaining, bartering, dan negotiating, untuk bersepakat di antara mereka.
Jika sang kandidat, misalnya, sanggup memberi
rupiah seratus juta, para ‘pebotoh’ menjamin, dan menggaransi dengan tingkat ‘kepastian’
berhasil memenanginya pada gelaran pilkades tersebut. Jika kandidat pertama tak
sanggup menyiapkan dana sebesar itu, para ‘pebotoh’ akan bergeser pindah ke kandidat
lain yang sanggupmemenuhi tawaran dana yang dimintanya. Benarkah bangsa ini tengah
menjalani dan ngelakoni apa yang
disebut dengan peradaban demokrasi ‘dagang sapi’?
Sekali lagi, silakan untuk tidak mempercayainya.
Bahwa kandidat yang unggul perolehan suaranya ‘pasti’ ketika itu sanggup memenuhi
prasyarat yang diminta. Dan, kandidat yang tumbang, ‘pasti’ dirinya tidak sanggup
menyediakan syarat-syarat yang dimintanya. Tak pahamkah bahwa untuk menjadi pemimpin
di negeri ini harus lebih dulu menjadi ‘beruang’ dan berkantong tebal? Pasalnya,
hari-hari ini yang sanggup menjadi ‘pendekar’ dan‘ panglima perang ’dalam konteks kekuasaan
adalah makhluk yang berjuluk uang.
Akhirnya, di negeri Pancasila, ini, telah terjadi
fenomenalitas atas diri seorang pemimpin ketika memenangi pada gelaran pilkades.
Intinya, secara instan banyak pemimpin
yang ‘dilahirkan’ atas dasar selera pasar, atas dasar seberapa dirinya sanggup ‘membayar’
fulus tunai kepada pihak luar yang bisa menentukan ‘nasib’ nya sebagai pemimpin.
Adakah hari – hari ini dan di negeri demokrasi ini
telah lahir seorang pemimpin rakyat yang tumbuh dari suara sejati rakyat, entah
itu, pada level bupati, gubernur, dan bahkan presiden sekali pun. Masih adakah seorang
pemimpin di negeri ini yang lahir ‘procot’ dari kandungan suara rakyat murni tanpa
harus mengandalkan rekayasa iming-iming atau kompensasi materi?
Finally,
saya terpaksa harus mengatakan dengan pertanyaan klise dan klasik tentang seberapa
banyakkah pundi – pundi rupiahmu itu bisa dijadikan modal meraih kekuasaan pada
kontestasi pilkades atau apa pun namanya?
Era demokrasi jenis dan model apakah sesungguhnya
yang kini tengah terjadi dan berlangsung di negeri Nusantara, ini?
@roy enhaer
Banyuwangi, Sabtu, 02 November 2019