‘Moto Kadesen’ dan ‘Moto Duiten’
http://www.diplomasinews.net/2019/10/moto-kadesen-dan-moto-duiten.html
@roy enhaer |
MESKI pesta demokrasi tingkat desa yang bernama pilkades serentak 2019 di Banyuwangi,
tersebut telah usai, tapi masih menyisakan aroma tak sedap tentang ‘politik
uang’, tentang jual beli suara, tentang penggiringan aspirasi agar ‘nyoblos’ nomor
dan wajah kandidat kades dengan iming-iming bonus hanya ‘seket ewu’ rupiah.
Believe It or Not. Percoyo karepmu, ra percoyo yo
karepmu, bahwa dalam konteks pilkades
yang digelar Rabu, 9 Oktober, kemarin itu, benar – benar sangat kental, lekat
dan sarat dengan istilah yang disebut : NPWP alias Nomermu sing tak coblos
Piro dan kowe Wani nyalami duwit nang
aku Piro. Artinya, seberapa
beranikah para kandidat itu ‘membeli’dan ‘barter’ suara warga agar di bilik suara nanti bisa ‘manteb’
ketika nyoblos?
Sekali lagi, percoyo karepmu, ra percoyo yo karepmu. Sudah separah dan sekarut-marut
itukah demokrasi di desa kita itu? Sudah sekomersial itukah warga di desa kita
itu dalam berdemokrasi? Sudah se – moto
duiten itukah sedulur-sedulurku di
desa yang dulu masih lugu itu. Sudah ‘moto kadesen’ kah sahabat-sahabatku yang
berlaga pada pilkades serentak 2019, kemarin itu?
Siapakah sesungguhnya yang sengaja merobohkan, merusak, mencabik-cabik,
mencederai, mengebiri, bahkan memutilasi pesta demokrasi di negeri ini?
Moto
duiten itu bermakna bahwa apa pun
yang ada di depan mata selalu dinilai dengan uang atau duit. Misalnya, hak
pilih seseorang itu akan ‘mandeg’ jika tak dihargai dan harus melalui bargaining, tawar menawar harga atau ‘nyang-nyangan’ dengan
rupiah. Jelasnya, seseorang pasti enggan untuk bercapek-capek berangkat ke
bilik TPS jika tidak berbekal atau ‘disangoni’ rupiah dari calon kades. Sudah separah itukah bangsa di negeri ini
bahwa apa pun yang melintas di depan mata itu harus ‘dibandrol’ dengan materi,
termasuk dalam pesta demokrasi plikades kemarin itu?
Dan, di sisi lain, bahwa para kandidat kades itu
juga teramat bernafsu mengejar politik desa yang di dalamnya sesunggunya
terjadi ketidakpastian, ketidakmasukalan jika dimasukkan ke akal sehat. Jika dijelaskan
sejelasnya bahwa para kandidat sangat ‘moto kadesen’ alias terlalu bernafsu
mengejar mimpi kursi kepala desa di istana desa.
Apakah sampeyan
masih tetap ra percoyo dengan tulisan ini bahwa semua itu benar-benar realitas di
lapangan dan sungguh-sungguh terjadi dalam pilkades,
pilcaleg, pilbub, pilwalkot, pilgub, pilpres dan bahkan pil KB, juga?
Agar semua menjadi adil dan bijaksana, jangan
hanya pilkades saja yang disebut ‘moto
kadesen’, tapi bisa juga ‘moto calegen’,
‘moto bupatien’, ‘moto gubernuren’, dan juga ‘moto presidenen’.
Dan, pada jenjang apa pun pesta
demokrasi di negeri ini dilaksanakan, pasti di dalamnya penuh dan sarat dengan gambling, perjudian, petualang makelar
politik yang sangat piawai ‘bagi-bagi’ materi kepada calon pemilih sebelum D-day
atau hari – H itu digelar. Ra percoyo ya sudah.
Akhirnya, tulisan ini sama sekali tak mewajibkan
sampean untuk mempercayainya, bahwa ternyata
telah terjadi peristiwa ‘moto duiten’ dan ‘moto kadesen’ pada gelaran pilkades
serentak 2019, kemarin itu. Ra percoyo ya
rapopo.
@roy enhaer
Banyuwangi, Sabtu, 12 Oktober 2019.