‘Melarat’ dan ‘Kualat’

@roy enhaer
PESTA demokrasi paling demokratis tentang pemilihan kepala desa [ pilkades ] serentak 2019 di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang dihelat pada Rabu, 9 Oktober 2019, tersebut, tinggal menghitung hari saja.

Hari – hari ini, gawe politik ‘level ndeso’ itu telah terasakan tingginya tensi dan mendidihnya suhu dukung mendukung terhadap sosok jagoan mereka di seantero desa yang tengah menggelar pemilihan kepala desa untuk memilih orang nomor satu dan ‘the best’ di desa.

Sejak jauh – jauh waktu, para kandidat kepala desa itu telah membangun banyak hal dengan totalitas kemampuan dan kesanggupannya hingga injury time, dan menjelang menit-menit terakhir pada hari – H pencoblosan di balik rahasia bilik suara nanti.

Pemilihan kepala desa itu adalah sebuah demokrasi politik yang unik. Uniknya, para kandidat kades tersebut meski dipilih langsung oleh rakyat tapi tanpa mengendarai dan mengibarkan bendera partai politik. Jangan lupa, meski sekadar demokrasi ‘ndeso’, para kandidat yang akan bertarung pada saat pilkades digelar nanti, mereka juga mesti paham dengan unenunen atau kiasan  yang berbunyi ‘jer basuki mawa bea’. Makna bebasnya bahwa, jika para kandidat itu kepingin berhasil menjadi pemenang di desanya, dirinya harus mampu dan mau mempersiapkan finansial tunai yang tidak sedikit.

Meski pendaftaran berlangsung gratis, jika bicara soal finansial, pemilihan kepala desa ternyata juga tak berbeda jauh dengan pemilihan – pemilihan level atas, seperti pilbub, pilgub, pileg, dan bahkan pilpres. Kata berita, ketika ada momentum pemilihan pada level apa pun, soal finansial merupakan salah satu prasyarat utama, penting dan ‘bekal’ yang tak bisa terlepaskan dari keberhasilan seorang kandidat.

Sekali lagi, meski ‘ndaftar’ pilkades itu tak berbayar, bukankah seorang cakades butuh menggalang dan mengkoordinasikan tim sukses untuk menyukseskan ‘nawaitu’ politik pilkadesnya? Belum lagi, secara kultural, istiadat budaya bahwa ‘wong’ Indonesia itu harus bisa ‘nguwongne’ para tetamu yang datang meski sekadar urun doa atas pencalonannya agar pada pemilhan kepala desa nanti menggenggam keberhasilan atas apa yang selama itu dimimpikannya.

Seorang kandidat jika ketamuan tamu – tamu yang bersolidaritas dan bersimpati atas niatnya itu, akan mustahil jika ‘tuan rumah’ tidak menyediakan lungguh, gupuh dan suguh. Artinya, tuan rumah yang baik pasti menyediakan tempat duduk yang nyaman, merasa bingung seperti apa hidangan yang mesti dihidangkan demi menghormati para tetamu, itu. Bukankah itu juga menelan dan membutuhkan ‘hight cost’ alias biaya operasional, dan akomodasional yang tidak sedikit?

Kata berita, jika rakyat calon pemilih tidak pernah ‘dioperasionali’ oleh para kandidat, silakan ditebak, bersediakah para pemilih itu berjalan kaki menuju tempat pemungutan suara [ TPS ] demi mencoblos wajah kandidat jika tanpa ‘sangu’ dan bekal yang cukup?

Akhirnya menjadi simalakama. Disangoni melarat, tidak disangoni kualat. Artinya, seorang kandidat bisa melarat jika setiap suara harus dihargai dengan lembaran duit. Tapi, kandidat bisa ‘kualat’ jika beraksi sebaliknya.

@roy enhaer
Banyuwangi, Senin, 07 Oktober 2019.

Related

Cover Story 8422150484710441164

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item