‘Melarat’ dan ‘Kualat’
http://www.diplomasinews.net/2019/10/melarat-dan-kualat.html
@roy enhaer
|
Hari – hari ini, gawe politik ‘level ndeso’ itu telah terasakan tingginya tensi dan mendidihnya
suhu dukung mendukung terhadap sosok jagoan mereka di seantero desa yang tengah
menggelar pemilihan kepala desa untuk memilih orang nomor satu dan ‘the best’ di
desa.
Sejak jauh – jauh waktu, para kandidat kepala desa
itu telah membangun banyak hal dengan totalitas kemampuan dan kesanggupannya
hingga injury time, dan menjelang menit-menit terakhir pada hari – H pencoblosan
di balik rahasia bilik suara nanti.
Pemilihan kepala desa itu adalah sebuah
demokrasi politik yang unik. Uniknya, para kandidat kades tersebut meski
dipilih langsung oleh rakyat tapi tanpa mengendarai dan mengibarkan bendera
partai politik. Jangan lupa, meski sekadar demokrasi ‘ndeso’, para kandidat
yang akan bertarung pada saat pilkades digelar nanti, mereka juga mesti paham
dengan unen – unen atau kiasan yang
berbunyi ‘jer basuki mawa bea’. Makna bebasnya bahwa, jika para
kandidat itu kepingin berhasil
menjadi pemenang di desanya, dirinya harus mampu dan mau mempersiapkan finansial
tunai yang tidak sedikit.
Meski pendaftaran berlangsung gratis, jika bicara
soal finansial, pemilihan kepala desa ternyata juga tak berbeda jauh dengan
pemilihan – pemilihan level atas, seperti pilbub, pilgub, pileg, dan bahkan
pilpres. Kata berita, ketika ada momentum pemilihan pada level apa pun, soal finansial
merupakan salah satu prasyarat utama, penting dan ‘bekal’ yang tak bisa
terlepaskan dari keberhasilan seorang kandidat.
Sekali lagi, meski ‘ndaftar’ pilkades itu tak
berbayar, bukankah seorang cakades butuh menggalang dan mengkoordinasikan tim
sukses untuk menyukseskan ‘nawaitu’ politik pilkadesnya? Belum lagi, secara kultural,
istiadat budaya bahwa ‘wong’ Indonesia itu harus bisa ‘nguwongne’ para tetamu
yang datang meski sekadar urun doa atas pencalonannya agar pada pemilhan kepala
desa nanti menggenggam keberhasilan atas apa yang selama itu dimimpikannya.
Seorang kandidat jika ketamuan tamu – tamu yang
bersolidaritas dan bersimpati atas niatnya itu, akan mustahil jika ‘tuan rumah’
tidak menyediakan lungguh, gupuh dan suguh. Artinya, tuan rumah yang baik pasti menyediakan tempat duduk
yang nyaman, merasa bingung seperti apa hidangan yang mesti dihidangkan demi
menghormati para tetamu, itu. Bukankah itu juga menelan dan membutuhkan ‘hight
cost’ alias biaya operasional, dan akomodasional yang tidak sedikit?
Kata berita, jika rakyat calon pemilih tidak pernah
‘dioperasionali’ oleh para kandidat, silakan ditebak, bersediakah para pemilih
itu berjalan kaki menuju tempat pemungutan suara [ TPS ] demi mencoblos wajah
kandidat jika tanpa ‘sangu’ dan bekal yang cukup?
Akhirnya menjadi simalakama. Disangoni melarat, tidak disangoni kualat.
Artinya, seorang kandidat bisa melarat jika setiap suara harus dihargai dengan
lembaran duit. Tapi, kandidat bisa ‘kualat’ jika beraksi sebaliknya.
@roy enhaer
Banyuwangi, Senin, 07 Oktober 2019.