‘Lambe Turah’ di Coblosan ‘Lurah’
http://www.diplomasinews.net/2019/10/lambe-turah-di-coblosan-lurah.html
@roy enhaer |
Dan, atas ujaran yang diceploskan oleh perempuan
pemilik mulut ‘nyinyir’ tersebut,
akhirnya menjadi ‘umek’ dan penuh kegaduhan
di masyarakat. Kegaduhan itu akhirnya menjadi bola salju liar yang menggelinding
menabraki apa saja yang ada di depannya.
Catat, bahwa snow
ball, atau bola salju itu ternyata di dalamnya berisi ujaran penistaan terhadap
agama tertentu dan diucapkan ketika di desa tersebut tengah menggelar ‘coblosan
Lurah’ atau helatan pemilihan kepaladesa[ pilkades ] serentak 2019, se-Banyuwangi,
bulan lalu.
Mungkinkah dugaan ujaran penistaan terhadap
agama tertentu, itu merupakan residua leffect
atau dampak ‘kalimat beracun’ atas eporia sesaat dalam mengagumi salah satu
kandidat pada pilkades, itu? Mungkinkah, sinyalemen dugaan penistaan itu terlontar
dan terpicu bahwa di antara kandidat yang bertarung pada pilkades tersebut berbeda
keyakinan agama mereka, sehingga muncul logika sempit, dan nalar pendek? Atau bisa
saja kegiatan pilkades itu dipahami bukan karena sedang memilih kepala desa,
tapi justru dimaknai sebagai ‘pertarungan’ label agama atas siapa pemenang dan siapa pencundang.
Celakanya, kenapa ujaran penistaan atas agama
tertentu itu justru di – audiovisual
– kankemudian diunggah dan disebarluaskan di dunia maya sehingga menjadi konsumsi sarapan pagi public
yang menarik untuk dinikmati. Akhirnya,
toleransi lintas agama di desa yang baru saja menggelar pilkades tersebut menjadi
terganggu, terusik, dan tercipta jurang menganga antar pemeluk agama. Ujungnya,
kemesraan antar pemeluk agama yang dulu kental, lekat dan penuh toleransi itu,
akhirnya menjadi retak-retak keberadaannya.
Siapa sesungguhnya yang mesti dipersalahkan? Pemilik
gambar video viral itukah yang harus menanggung
pertanggungjawabannya atas semua itu? Atau para orang – orang elit di atas sana
itukah yang juga harus memikul dampaknya karena mereka itu juga sangat piawai menciptakan
‘manejemenkonflik’ atas isu dan sentiment
agama yang sering dicampuradukkan dengan sejumlah pesta demokrasi di
negeriini. Contohnya, mulai dari pesta demokrasi pilbub, pilgub, pilcaleg, hingga pilpres.
Benarkah, perilakudanmoralitas para elitis di
atas sana itu telah dijadikan inspirasi dan kemudian dicontoh oleh para
‘wongndeso’ ketika menggelar pesta demokrasi pilkades tersebut dengan cara –
cara saling menghujat, menista antar pemeluk
agama sehingga bisa berpotensi meretakkan, mencabik – cabik, dan membelah bangunan
toleransi keberagamaan yang telah berpondasi kokoh di desa itu?
Kenapa jika
kita mengaku beragama dan sebagai pemeluknya justru tidak menebarkan cinta dan memancarkan
cahaya kasih saying kepada sesama, tetapi justru menaburkan kebencian yang
penuh kedendaman? Ada yang salahkah dengan cara menerjemahkan dan mempraktikannya
dalam beragama sehari-hari? Adakah agama yang mengajarkan pada pemeluknya untuk menghujat,
menghina, mem-bully, dan menistakan kepada
pemeluk agama lain hanya persoalan sepele soal pilkades di desa itu?
Tak sadarkah bahwa mulut ‘nyinyir’ para penista
agama itu bisa berpotensi menciptakan ‘kriwikan’ menjadi ‘grojogan’? Bahkan nyala
sepuntung rokok itu pun bisa dan sanggup ‘membakar’ ratusan ribu hektar hutan belantara
di negeri ini. Dan, kenyiyiran mulut yang semula hanya berlevel ‘ndeso’ itu jika
tak sesegera mungkin dikatupkan, dan dibungkam rapat-rapat, pasti akan meluber dan
melebar menjadi pemicu sensitivitas regional yang akhirnya berujung menjadi kekisruhan nasional.
Bahkan, ujaran yang terlontar dari setangkup lambe torah itu bisa menjalar menjadi akumulasi
kedendamkesumatan psikologika agama yang bukan tidak mungkin akan menciptakan
‘kedendaman’ bak gelombang tsunami nasional
jika semua pihak tidak segera menyikapi dengan komprehensif dan kedewasaan berpikir.
@roy enhaer
Banyuwangi, Kamis, 31 Oktober 2019.