‘Ruwat’ Desa dan Malam Merdeka
http://www.diplomasinews.net/2019/08/ruwat-desa-dan-malam-merdeka.html
‘GUNUNGAN’ MERDEKA : Ketika kepala desa
Yosomulyo, Didik Kartika, SH, memegang dan mengangkat ‘gunungan’ sebagai
simbolitas prosesi ‘ruwat desa’ dalam nuansa kemerdekaan. [ image : roy enhaer
]
|
DIPLOMASINEWS.NET_YOSOMULYO_BANYUWANGI_Pemerintah
Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur, itu, pada Minggu,
25 Agustus 2019, siang, telah menggelar tradisi ‘ruwat desa’ lewat media seni
wayang purwo. Kemudian, pada malam harinya, dilanjutkan dengan gelaran wayang
purwo semalam suntuk bersama Ki Dalang Ikhwan Dwi Purbocarito, dan Ki Dalang
Samurhadi dari Tegalsari, Banyuwangi.
Pagelaran wayang purwo di pendopo Desa
Yosomulyo, itu, menyajikan lakon, Pendowo
Mbangun Bale Wismo, yang dibawalakonkan oleh Ki Dalang Samurhadi.
Sementara itu, Mohammad Asrofi, sekretaris desa
Yosomulyo, ketika dijumpai DIPLOMASINWES.NET, di sela-sela gelar wayang kulit tersebut,
berucap bahwa, ‘wayangan’ di pendopo desanya, malam itu, Senin, 26 Agustus
2019, adalah untuk menyambut hari kemerdekaan ke -74, negeri Nusantara, ini,
dan sekaligus acara tradisi ‘ruwat desa’.
BERSIMPUH MERDEKA : Ketika sejumlah tokoh
bersimpuh, bersila duduk bersama dalam prosesi ‘ruwat desa’ dan sambut
kemerdekaan di pendopo desa. [ image : roy enhaer/wandi/diplomasinews.net ]
|
“Gelar ruwatan
di pendopo desa kali ini, adalah semacam tradisi Jawa yang sudah turun temurun,
dan lestari hingga hari ini,” ujar Asrofi, ketika ber-face to face dengan DIPLOMASINEWS.NET, Senin, 26 Agustus 2019, dini
hari.
Lanjutnya, tradisi ruwatan yang kini tengah digelar
di desanya itu, adalah semacam local wisdom, atau kearifan lokal, yang mesti
dilestarikan dan ‘diuri-uri’ keberadaan dan eksistensinya.
Masih lanjutnya, ‘ruwat desa’ jika
dikontekstualkan dengan kinerja dalam pemerintahan desa, ia merupakan kekuatan spiritualistik
pada diri personal seseorang dan semangat kerja jika disambungkan pada level
pemerintahan desa.
“Intinya, secara filosofis, ruwatan desa itu, jika diambil sisi positifnya merupakan
penyemangat, penyelamat, dan kehati-hatian dalam setiap gerak langkah kita,”
ujar Asrofi, berurai-urai.
Pasalnya, prosesi dalam ruwatan itu, selalu ada ‘wejangan’
rambu-rambu larangan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk dilakukan oleh
setiap individu.
“Barangkali jika tak salah, ruwatan adalah
metode preventif atau pengingat terhadap siapa pun,” pungkas Asrofi, mengakhiri
wawancara dengan DIPLOMASINEWS.NET, Senin, 26 Agustus 2019, dini hari, itu.
Dan, tetabuhan pentatonik yang mengiringi gelar
wayang kulit di pendopo Desa Yosomulyo, itu, semakin larut semakin terasa mengalir
nuansa tradisionalnya.
Onliner :
oma prilly/diplomasinews.net
Editor :
roy enhaer