Gelar Diskusi, Sebelum Tumpang Pitu ‘Ciptakan’ Bencana dan Tragedi
http://www.diplomasinews.net/2019/06/gelar-diskusi-sebelum-tumpang-pitu.html
DISKUSI BENCANA : Sejumlah pegiat dan penyangga
lingkungan tengah berdiskusi bersama warga, di lapangan Sumbermulyo, Pesanggaran,
Banyuwangi, Jawa Timur. [ images : roy enhaer/dipomasinews.net ]
|
DIPLOMASINEWS.NET_PESANGGARAN_BANYUWANGI_Pada
Minggu, 23 Juni 2019, para pegiat lingkungan hidup tengah ‘kumpul bareng’ di
lapangan Sumbermulyo, Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur.
Gelaran bertajuk ‘Istigosah dan Refleksi 13
Tahun Semburan Lumpur Lapindo’, itu, dihadiri oleh sejumlah ‘pengabdi’
lingkungan dan ‘penjaga’ dunia, antara lain datang dari Songgon, Wongsorejo,
Bali, Jember, Sidoarjo, Lumajang, Surabaya, dan sejumlah warga ‘tetangga’ di
sekitar tambang emas Tumpangpitu, di Pesanggaran, itu.
Sementara itu, ketua panitia acara tersebut,
Usman, saat ditemui DIPLOMASINEWS.NET, berurai-urai tentang mengapa dan apa
saja yang mereka diskusikan pada gelaran di lapangan tersebut. Mengapa para
pegiat lingkungan hidup itu begitu ‘was-was’ dan menganggap bahwa penambangan
emas di kawasan Gunung Tumpangpitu, sudah pada tahap emegency dari sisi kerusakan ekologis bahkan menuju kehancuran lingkungan
hidup.
“Hari ini antara ‘penguasa’ dan pengusaha sudah
melakukan aksi sindikatif demi mengeruk gunung Tumpangpitu hingga ke jantungnya
yang paling dalam,” tegas Usman, yang juga mahasiswa UNTAG Banyuwangi, itu,
ketika dicecar pertanyaan DIPLOMASINEWS.NET, usai diskusi, Minggu, 23
Juni 2019.
Tegasnya lagi, adalah logis jika pengerukan yang
sembrono dan serakah oleh para oknum penuh nafsu atas gunung Tumpangpitu, itu, jika
tidak segera dihentikan aksi mereka, pasti akan berdampak persis alias sama dan
sederajat dengan tragedi kemanusian dan lingkungan hidup pada generasi yang
akan datang di negeri ini.
Masih tegasnya, sesungguhnya tambang emas
Tumpangpitu, itu adalah sebuah industri ekstraktif, atau aksi istant yang
targetnya hanya mengeruk dan merusak alam demi mendapatkan material alam
berupa, utamanya, emas yang sejatinya milik rakyat itu.
Ketika ditanya atas kenapa lakukan aksi kritis
terhadap tambang emas Tumpangpitu itu? Mampukah jika mereka digambarkan sebagai
banteng dan para pegiat itu hanya seekor kambing untuk bisa mengalahkannya? Jawabnya,
bukan soal siapa yang besar dan siapa yang kecil, tapi secara budaya paling
tidak pihaknya telah melakukan upaya ‘mengingatkan’ agar pada kemudian hari nanti,
ekologi dan lingkungan alam itu tidak semakin celaka karena ulah serakah
sindikasi para oknum yang tak bertanggung jawab itu.
“Ternyata, negara hanya berkalkulasi jangka
pendek saja atas pengerukan gunung Tumpangpitu, itu, selama ini, dan tak pernah
berpikir cerdas tentang menjaga dan merawat lestarinya alam,” pungkas Usman,
ketika berurai-urai kepada DIPLOMASINEWS.NET, Minggu, 23 Juni 2019.
Onliner :
roy enhaer