Ritual ‘Penjamasan’ Pusaka, Antara ‘Sirik’ dan Budaya
http://www.diplomasinews.net/2018/10/ritual-penjamasan-pusaka-antara-sirik.html
Ketika DIPLOMASINews.Net, ‘Bermalamsatusuroan’ di Alas Purwo
Angka digital pada layar hand phone terbaca angka nol-nol tepat memasuki kehidupan baru, 1
Suro. Pada detik dini hari itu juga DIPLOMASI tengah duduk bersila di tengah
belantara Alas Purwo yang terletak di ujung pulau Jawa paling timur itu.
Tepatnya, di Taman Nasional Alas Purwo [ TNAP ] Semenanjung Blambangan,
Banyuwangi, Jawa Timur.
Alas Purwo yang ‘wingit’ penuh kemistikan dan
dikenal dengan sebutan ‘jalmo moro, jalmo mati’ tersebut menjadi tempat
berdzikir demi menyongsong satu Suro. Demi menyongsong kehidupan baru setiap
pada tahun baru Islam.
“Alhamduliilah, pada setiap satu Suro, kami
selalu berdzikir di tempat ini,” ujar Gus Fahru [ sapaan akrab ] Fahrurrozi,
Kiai asal Purwoharjo, Banyuwangi, itu, ketika ditemui DIPLOMASINews.Net, di
atas pondok kayu di Alas Purwo.
Beberapa tokoh agama juga turut hadir pada malam
satu Suro di Alas Purwo, itu, seperti dua tokoh ‘Kiai Kembar’ [ Kiai Hoirudin
dan Kiai Nurudin ] asal Barurejo, Siliragung, Banyuwangi. Di tengah acara
ritual ‘jamasan pusaka’ itu, kedua Kiai Kembar itu dengan khusuk melantunkan
salawat hingga paripurna.
Bersyukur, ketika itu, DIPLOMASINews.Net, diberi
sejenak waktu untuk menginterview kedua tokoh ‘kembar’ itu tentang benda pusaka
bernama keris. Siapa sesungguhnya pembuat benda pusaka itu? Untuk apa dan apa
fungsinya? Masih relevankah keris itu jika dibicarakan pada era serba digital
seperti sekarang ini? Kapan keris itu
menjadi ‘sirik’ dan kapan ia hanya sebagai budaya yang mesti ‘diuri-uri’
keberadaannya?
“Keris adalah benda pusaka. Adanya ‘hanya’ di
Jawa, saja,” terang salah satu kiai Kembar, ketika DIPLOMASINews.Net,
menanyakannya.
Terangnya lagi, keris itu diciptakan oleh
seorang empu pada zaman dulu. Keris adalah sekadar sebuah benda tapi sangat
‘luar biasa’. Diciptakan dari bahan baku yang ‘luar biasa’. Dan, juga diciptakan
oleh orang-orang yang ‘luar biasa’. Makanya, terang kiai kembar itu, hingga di
zaman teknologi tinggi sekarang ini, ia masih memiliki ‘daya’ yang luar biasa.
“Sebuah keris akan menjadi ‘sirik’ ketika kita
meyakininya sebagai segala-galanya. Dan, ia menjadi ‘sirik’ yang betul-betul
‘sirik’ ketika kita menganggapnya sebagai ‘tuhan’,” jelentrehnya pada media ini
ketika berdiskusi di gubug papan yang berada tepat di ‘jantung’ hutan Alas
Purwo.
Lanjutnya, keris pada zaman sekarang ini tak
ubahnya seperti benda HP yang kita miliki itu. Ia mencontohkan perilaku kita
sehari-hari sebagai pengguna HP. Andai tak ada HP, pasti transaksi bisnis
dengan teman bisnisnya pasti gagal. Bukankah HP itu akan berubah ‘sirik’ ketika
fungsinya menjadi segala-galanya dalam hidup kita? Bukankah pemilik
segala-gala-Nya itu adalah hanya Tuhan Allah SWT?
“Tak dilarang kita punya keris
sebanyak-banyaknya, asal jangan sampai terpeleset ‘menuhankan’ nya. Keris
adalah benda pusaka yang boleh diuri-uri dan dibudayakan,” pungkas Kiai Kembar
dengan tegas.
■ roy/jefri/ikhsan/diplomasinews.net