‘Darah’ Tiban, Pertanda Akan ‘Turun Hujan’
http://www.diplomasinews.net/2018/10/darah-tiban-pertanda-akan-turun-hujan.html
DIPLOMASINews.Net
_ KARETAN _ BANYUWANGI _ ‘Tiban’ berasal dari kata Jawa, yaitu ‘tiba’ atau jatuh secara mendadak. Yaitu
jatuh dari langit berupa hujan. Tiban adalah semacam tari atau ritual rakyat,
utamanya, sering dipertandingkan di Jawa Timur, dan telah turun temurun hingga
akhirnya mengakar menjadi budaya rakyat.
Adalah, Sastro, lelaki berusia 55 tahun, warga Karetan, itu juga masih bernyali ikut berlaga menjajal tubuhnya di arena ritual tiban. Ketika ditemui DIPLOMASINews.Net, ia mengatakan bahwa tak pernah gentar dan mundur selangkah pun demi menantang lawan-lawan yang lebih muda darinya.
“Sedikit pun saya tak gentar,” katanya dengan nada bernyali.
Sementara itu, Sukari, panitia penyelanggara ritua tiban, pada DIPLOMASINews.Net, menuturkan bahwa semua warga boleh ikut berlaga di arena. Tapi, mereka diwajibkan menggunakan helm sebagai pengaman kepala.
“Asal berani, silakan ikut berlaga. Tradisi itu digelar saat musim kemarau panjang. Bahkan, darah yang keluar dari tubuh para pemain tiban itu justru sebagai ‘pertanda’ akan turun hujan,” pungkasnya.
Onliner : san/diplomasinews.net
Sejarah ritual tiban selalu digelar
pada musim kemarau panjang. Ia dipertunjukkan sebagai simbolitas ‘permohonan’
kepada Tuhan agar diturunkan ‘hujan’. Meski
tradisi tiban terlihat ‘sadis’ dan penuh kekerasan tapi ia mengandung pesan
luhur demi keseimbangan dan kelestarian alam.
Contohnya, ritual tiban di Desa
Karetan, Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, itu, digelar pada Sabtu, 20
Oktober 2018, di tanah kosong dan lapang. Diawali usai duhur dan berakhir
hingga selesai.
Meski matahari siang itu
menyengat, tapi tak menyurutkan antusias ratusan penonton Desa Karetan,
Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, yang ingin menikmati pagelaran ritual tiban
yang menampilkan para ‘jawara’ yang akan mengadu ‘kesaktian’ di arena.
Tiban selalu dilakonkan oleh
dua orang lelaki bertelanjang dada beradu cambuk di arena pertandingan dengan menggunakan
lidi yang dianyam. Tak terbatasi usia, lelaki tua atau muda memiliki kesempatan
sama dalam beradu ‘kesaktian’ di gelanggang. Sambil diiringi tetabuhan
gamelan Jawa, masing-masing pemain hanya diberi kesempatan ‘mecut’ lawan
sebanyak tiga kali.
Aturan
mainnya, masing-masing pemain hanya berkesempatan mencambuk lawan sebanyak tiga
kali secara bergantian. Tradisi tiban ini diiringi pula oleh alunan gamelan
Jawa.
Adalah, Sastro, lelaki berusia 55 tahun, warga Karetan, itu juga masih bernyali ikut berlaga menjajal tubuhnya di arena ritual tiban. Ketika ditemui DIPLOMASINews.Net, ia mengatakan bahwa tak pernah gentar dan mundur selangkah pun demi menantang lawan-lawan yang lebih muda darinya.
“Sedikit pun saya tak gentar,” katanya dengan nada bernyali.
Sementara itu, Sukari, panitia penyelanggara ritua tiban, pada DIPLOMASINews.Net, menuturkan bahwa semua warga boleh ikut berlaga di arena. Tapi, mereka diwajibkan menggunakan helm sebagai pengaman kepala.
“Asal berani, silakan ikut berlaga. Tradisi itu digelar saat musim kemarau panjang. Bahkan, darah yang keluar dari tubuh para pemain tiban itu justru sebagai ‘pertanda’ akan turun hujan,” pungkasnya.
Onliner : san/diplomasinews.net
Editor : roy enhaer